Rabu, 21 Maret 2012

Nabi SAW Diancam akan Dibunuh

            Pada bulan Rabi’ul awwal tahun 7 hijriah (riwayat lainnya, tahun 4 hijriah),  Nabi SAW memperoleh informasi bahwa kabilah Bani Tsa’labah dan Bani Muharib, termasuk suku Ghathafan, bersekutu untuk menyerang Madinah, bahkan tidak jarang sebagian dari mereka telah mengganggu kaum  muslim yang tinggal cukup jauh dari Madinah. Karena itu beliau memimpin satu pasukan berjumlah 700 orang (riwayat lain, 400 orang) menuju suku tersebut di daerah Najd. Suku Ghathafan ini memang terkenal kekuatannya sejak masa jahiliah dan sangat ditakuti, suku ini pula yang bersekutu dengan Suku Quraisy untuk menyerang Madinah pada Perang Khandaq (Ahzab).
            Setelah dua hari perjalanan, beliau tiba dan beristirahat di Nakhl, tidak jauh dari Ghathafan. Kebanyakan anggota pasukan tersebut berjalan kaki sehingga banyak yang kakinya pecah-pecah (terluka) dan ada yang kukunya terkelupas. Mereka membalut kaki-kaki mereka dengan kain-kain perca, karena itulah peperangan itu diberi nama Dzatur Riqa’ (yang ada tambalannya), dan tempat mereka singgah diberi nama yang sama.
            Melihat kehadiran pasukan Nabi SAW di Nakhl, kabilah-kabilah dari suku Ghathafan itu merasa ketakutan. Sebagian dari mereka menawarkan perdamaian atau menyerah di bawah kekuasaan Madinah, termasuk kabilah Bani Tsa’labah dan Bani Muharib. Sebagian kecil lainnya ada yang memeluk Islam. Pada akhirnya, berangsur-angsur makin banyak dari suku Ghathafan ini yang memeluk Islam.
            Jadi tidak terjadi bentrok senjata langsung dalam Perang Dzatur Riqa’ ini, dan kaum muslimin beristirahat cukup tenang di Nakhl, termasuk juga Rasulullah SAW. Namun demikian, ada saja satu dua orang yang tidak puas dengan perdamaian itu. Salah seorang musyrikin bernama Ghaurats bin Harits yang berasal dari Bani Muharib, berniat untuk membunuh Nabi SAW. Ia berhasil menyelinap di perkemahan kaum muslim, dan ia melihat Nabi SAW sedang tertidur di bawah pohon (riwayat lain menyebutkan, beliau sedang duduk-duduk, atau riwayat lain, sedang shalat), dan pedang beliau tergantung di sebuah ranting. Ghaurats mengambil pedang itu mengacungkan kepada beliau sambil menghardik, “Wahai Muhammad, tidakkah engkau takut kepadaku?”
            Nabi SAW yang segera terbangun, berkata dengan tenang, “Tidak!!”
            “Siapakah yang akan menghalangiku untuk membunuhmu?” Tanya Ghaurats lagi.
            “Allah!!” Kata Nabi SAW.
            Mendengar  kata ‘Allah’ yang terlontar dari bibir Rasulullah SAW itu, tiba-tiba tubuhnya serasa lumpuh dan pedang itu terlepas dari tangannya, dan ia jatuh terduduk. Beliau segera mengambil pedang itu dan mengacungkannya kepada Ghaurats, dan bersabda, “Siapa yang bisa menghalangiku untuk membunuhmu?”
            Ghaurats berkata, “Tidak ada!! Jadilah engkau orang yang sebaik-baiknya menjatuhkan hukuman!!”
            Nabi SAW tersenyum mendengar jawabannya itu, dan berkata, “Kalau begitu bersaksilah engkau bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah!!”
            “Tidak,” Kata Ghaurats, “Tetapi aku berjanji kepadamu untuk tidak memusuhimu, dan tidak akan bergabung dengan orang-orang yang memusuhimu!!”
            Memang tidak ada paksaan dalam memeluk Islam, hidayah adalah hak mutlak Allah, terserah Allah kepada siapa akan diberikan. Beliau tidak memaksa Ghaurats, bahkan beliau memaafkan dan melepaskannya. Ketika tiba kembali di antara kaumnya, Ghaurats berkata, “Aku baru saja kembali dari sebaik-baiknya orang di dunia ini!!”
            Dalam riwayat lain disebutkan, lelaki yang ingin membunuh Nabi SAW dalam peristiwa tersebut adalah seorang Badui bernama Du’tsur. Setelah gagal dan Nabi SAW memaafkannya, ia kemudian memeluk Islam. Sebagian riwayat lain menyebutkan, Ghaurats dan Du’tsur adalah dua peristiwa yang hampir sama, tetapi terjadi dalam peperangan yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar