Senin, 12 Maret 2012

Tanda Kenabian Menjelang Kelahiran Nabi SAW (2) Ditemukannya Kembali Sumur Zam-zam

Selain tentara bergajah, peristiwa ajaib yang terjadi menjelang kelahiran Nabi SAW adalah ditemukan atau digalinya kembali Sumur Zam-zam. Sumur yang pertama kali ditemukan oleh Hajar dan Nabi Ismail yang saat itu masih bayi, sebenarnya terus memberikan airnya untuk penghidupan kepada penduduk Baitullah dan sekitarnya Tetapi setelah Nabi Ismail wafat, kemaksiatan dan kemusyrikan melingkupi Ka’bah dan Baitullah sehingga sumur Zam-zam berangsur mengering dan akhirnya menghilang sama sekali. Selama berabad-abad orang-orang mencoba mencari keberadaan sumur tersebut dan menggalinya, tetapi selalu saja mengalami kegagalan.   
            Beberapa waktu sebelum terjadinya peristiwa Tentara Bergajah, Abdul Muthalib bermimpi, ia didatangi suara ghaib yang memerintahkannya untuk mencari dan menggali kembali sumur Zam-zam, sekaligus menunjukkan tempatnya, yang memang tepat seperti ketika pertama kali ditemukan oleh Nabi Ismail. Padahal berabad-abad sebelumnya, banyak sekali yang berusaha menggali di tempat yang sama, tetapi tidak memperoleh hasil apa-apa.
            Abdul Muthalib segera melaksanakan perintah ghaib tersebut. Dalam penggalian itu Abdul Muthalib menemukan simpanan benda berharga milik Bani Jurhum, kabilah yang pertama kali tinggal dan menemani Nabi Ismail dan Hajar di Makkah, istri Nabi Ismail juga berasal dari kabilah itu. Benda-benda berupa beberapa pedang, baju besi dan dua pangkal pelana itu semuanya terbuat dari emas. Abdul Muthalib memasang pedang dan dua pangkal pelana itu pada pintu Ka’bah.
            Setelah melakukan penggalian beberapa hari lamanya, sumur Zam-zam itu akhirnya ditemukan kembali, dan airnya-pun sangat berlimpah. Tampaknya memang Allah menghendaki munculnya sumur Zam-zam itu kembali untuk dinikmati oleh kecintaan-Nya, Nabi Muhammad SAW yang tidak lama lagi akan dilahirkan, termasuk kaum kerabat beliau dan seluruh umat beliau hingga hari kiamat tiba.
            Sumur Zam-zam memang ajaib. Berbeda dengan sumur yang umumnya mempunyai mata air di bagian bawah sendiri, Zam-zam ini mata airnya di tengah. Dengan kedalaman 30 meter dari bibir sumur, mata air itu berada pada jarak 13 meter, dan memenuhi sumur sampai batas 4 meter dari bibir sumur. Ada dua mata air utama, pertama yang keluar dari suatu celah sepanjang 75 cm setinggi 30 cm yang mengarah pada Hajar Aswad, yang kedua celah sepanjang 70 cm setinggi 30 cm yang mengarah pada pengeras suara saat ini. Ada juga beberapa celah kecil yang mengalirkan air juga, yang mengarah pada bukit Shafa dan Marwa. Diameter  sumur juga berbeda-beda, berkisar antara 1,46 m hingga 2.66 m. Debit airnya antara 11 liter hingga 18,5 liter perdetik.
            Ketika sumur Zam-zam itu ditemukan kembali, beberapa kabilah Quraisy lainnya ingin campur tangan dalam pengelolaannya, mereka berkata, “Kami ingin bersekutu!!”
            Dengan tegas Abdul Muthalib berkata, “Tidak bisa, ini adalah urusan yang khusus ada di tanganku!!”
            Tetapi kabilah-kabilah itu agak memaksa, maka Abdul Muthalib berkata, “Baiklah, kita bawa masalah ini kepada dukun wanita dari Bani Sa’d. Aku tidak akan mau berbagi/bersekutu kecuali jika dia telah memutuskannya!!”
            Dukun wanita Bani Sa’d tersebut selama ini menjadi rujukan jika terjadi perselisihan di antara kaum Quraisy. Mereka mendatanginya dan menyerahkan urusan tersebut. Walaupun cukup lama menunggu, mereka dengan sabar tinggal di bani Sa’d tersebut, sampai akhirnya Allah menunjukkan kekuasaan-Nya, dukun wanita itu keluar dengan putusan bahwa hak pengelolaan sumur Zam-zam mutlak berada di tangan Abdul Muthalib.
            Abdul Muthalib sangat gembira dengan putusan tersebut, begitu gembiranya sehingga ia bernadzar, jika ia mempunyai sepuluh orang anak laki-laki, dan tidak akan mempunyai anak lainnya lagi setelah itu, ia akan mengorbankan (menyembelih) salah satunya di hadapan Ka’bah, sebagaimana Ibrahim telah menyembelih (mengorbankan) Ismail. Sesuatu yang berlebih-lebihan memang tidak baik, begitu juga dengan kegembiraan. Hal itulah yang dialami oleh Abdul Muthalib, kegembiraan menemukan kembali sumur Zam-zam, ditambah lagi kegembiraan karena memperoleh hak mutlak mengelola sumur tersebut, membuat akal sehatnya tertutup untuk sementara waktu sehingga muncul nadzar seperti itu.
Setelah beberapa hari berlalu dan kegembiraannya mulai mereda, ia teringat akan nadzar yang diucapkannya di depan dukun wanita Bani Sa’d itu. Dan ia mulai menyadari bahwa dari 16 orang anaknya, sepuluh orang di antaranya adalah laki-laki, hanya saja ia belum tahu, apakah di antara istri-istrinya masih akan melahirkan lagi? Ia memerintahkah seorang yang ahli untuk memeriksa keadaan istri-istrinya, dan sang ahli menyatakan bahwa mereka tidak akan bisa mempunyai anak lagi.
Abdul Muthalib mengumpulkan anak laki-lakinya, dan menceritakan nadzar yang telah diucapkannya. Ternyata mereka semua patuh dengan kehendaknya tersebut, siapapun yang harus dikorbankan. Ia menulis ke sepuluh nama anaknya tersebut dan kemudiannya mengundinya. Ternyata nama yang keluar adalah Abdullah, anak yang paling disayanginya dan ayahanda Rasulullah SAW itu dengan ikhlas menerima keputusan tersebut, sebagaimana ikhlasnya Nabi Ismail ketika akan disembelih oleh Nabi Ibrahim.
Abdul Muthalib menuntun anaknya itu menuju Ka’bah sambil membawa parang. Kaum Quraisy yang menyaksikan pemandangan tersebut sejak awal merasa trenyuh, apalagi Abdullah juga yang paling mereka sayangi di antara anak-anak Abdul Muthalib lainnya. Mereka kemudian mencegah niat Abdul Muthalib dengan keras, terutama Abu Thalib dan paman-pamannya dari pihak ibu yang berasal dari Bani Makhzum. Abdul Muthalib yang pada dasarnya memang tidak tega untuk melaksanakan nadzarnya itu berkata, “Bagaimana dengan nadzarku?”
Mereka menyarankan untuk meminta pendapat dukun wanita Bani Sa’d untuk memberikan solusinya, sebagaimana biasanya. Wanita itu memerintahkan agar Abdul Muthalib menyembelih sepuluh ekot unta sebagai diyat, tebusan pembunuhan yang berlaku saat itu. Setelah itu ia harus melakukan pengundian kembali nama Abdullah dengan sepuluh unta. Jika nama Abdullah yang keluar, ia harus menambah lagi sepuluh ekor unta lagi sebagai diyat, dan mengundinya lagi. Begitu seterusnya hingga yang keluar nama unta, dan saat itulah kafarat dari nadzarnya yang diridhoi Tuhan.
Abdul Muthalib melaksanakan saran wanita tersebut, dan ternyata setelah seratus ekor unta, barulah nama Abdullah tidak keluar lagi. Sejak saat itu ketetapan diyat untuk pembunuhan ditetapkan oleh orang-orang Arab sebanyak seratus ekor unta. Dan aturan diyat pembunuhan adalah seratus ekor unta diteruskan oleh Nabi SAW dalam syariat Islam. Karena peristiwa tersebut, Nabi SAW pernah bersabda, “Aku adalah anak dari dua orang yang (akan) disembelih.”
Maksudnya adalah Nabi Ismail yang akan disembelih oleh Nabi Ibrahim, dan Abdullah yang akan disembelih oleh Abdul Muthalib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar