Kamis, 29 Maret 2012

Tanda Kenabian Sebelum Menjadi Nabi (1) Wasilah dengan Wajah Nabi SAW

Suatu ketika kota Makkah dilanda paceklik dan kekeringan yang tidak seperti biasanya, sehingga kemiskinan merajalela. Sekelompok orang Quraisy mendatangi Abu Thalib sebagai sesepuh dan tokoh yang paling disegani dalam pengelolaan rumah Allah (Ka’bah), sambil berkata, “Wahai Abu Thalib, lembah-lembah kami sedang kekeringan dan kemiskinan melanda kami. Marilah kita berdoa untuk meminta turunnya hujan!!”
Abu Thalib berkata, “Baiklah, tunggulah sebentar!!”
Tidak berapa lama Abu Thalib keluar dari rumahnya dengan menggandeng seorang anak kecil yang usianya belum genap sepuluh tahun, yakni Nabi SAW. Mereka berjalan beriringan menuju Ka’bah, dan disadari atau tidak oleh yang lainnya, awan tipis bergerak perlahan beriringan menaungi Abu Thalib dan Nabi SAW.
Ketika telah sampai di salah satu sisi Ka’bah, Abu Thalib menyandarkan punggung beliau ke dinding Ka’bah dan jari jemarinya memegangi beliau. Sambil memandangi wajah beliau yang putih berseri, mulut Abu Thalib mengucap doa meminta hujan diikuti oleh orang-orang Quraisy lainnya. Belum lagi mereka berlalu dari tempatnya, tiba-tiba langit yang bersih berubah menjadi gelap, penuh mendung yang datang dari segala penjuru, dan tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya.
Abu Thalib memandang dengan takjub wajah keponakannya tersebut dan memeluknya erat. Kemudian terlontar sebuah syair pendek dari mulutnya : Putih berseri, meminta hujan dengan wajahnya ; Penolong anak yatim, dan pelindung wanita janda… 
Penduduk Makkah menyambut gembira datangnya hujan tersebut, dan hanya dalam beberapa jam saja lembah-lembah dipenuhi air lagi, dan dalam beberapa hari kemudian ladang-ladang mereka mulai subur kembali.

Tanda Kenabian Menjelang Kelahiran Nabi SAW (3) Dajjal Dibelenggu

            Dajjal adalah fitnah terbesar yang akan muncul secara nyata menjelang hari kiamat tiba. Tidak ada seorang nabi-pun kecuali mengingatkan umatnya akan fitnah Dajjal, termasuk Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda, “Sejak diciptakannya Nabi Adam AS hingga datangnya hari kiamat, tidak ada perkara (fitnah) yang lebih besar daripada Dajjal.”
            Nabi SAW bersabda, “…sesungguhnya Dajjal akan muncul dengan membawa semacam surga dan neraka, sesuatu yang dikatakan sebagai surga oleh Dajjal, maka itu sebenarnya neraka.” Beliau juga memperingatkan kita, “Barang siapa mendengar berita kehadiran Dajjal, maka usahakanlah untuk menghindar/menjauh dari dia. Demi Allah, adakalanya seseorang didatangi oleh Dajjal dan ia menganggap Dajjal sebagai seorang mukmin sehingga ia menjadi pengikutnya, karena diperlihatkan kepadanya berbagai macam syubhat.” Dan masih banyak lagi hadist-hadist lainnya mengenai Dajjal ini.
            Dajjal adalah sosok yang sangat jenius, ia mengetahui berbagai ilmu pengetahuan dan menguasai berbagai macam rahasia alam semesta. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia juga sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman, sehingga pada awal kemunculannya nanti, ia tampil sebagai seorang muballigh yang saleh. Ia bisa menampilkan berbagai macam keajaiban karena pengetahuannya akan rahasia alam semesta, dan tentunya karena diijinkan oleh Allah, sehingga pengikutnya makin banyak. Lama-kelamaan ia mengaku dirinya sebagai nabi, dan ketika makin banyak orang yang memujanya, ia mengaku dirinya sebagai Tuhan.
            Tidak ada riwayat pasti yang menjelaskan kapan Dajjal ini dilahirkan? Seorang ulama, pemikir dan jurnalis dari Mesir bernama Syech Muhammad Isa Dawud menyatakan bahwa Dajjal dilahirkan sekitar satu abad sebelum Nabi Musa AS dilahirkan. Kesimpulan itu diambil berdasarkan kajian mendalam beberapa ayat-ayat Al Qur’an, berbagai hadist-hadist Nabi SAW, dan berbagai macam manuskrip (literatur) kuno yang beliau dapatkan dari berbagai daerah di Timur Tengah.
            Orang tua Dajjal itu tinggal di daerah Samirah, sebuah daerah kecil di Palestina, yang di kemudian hari menjadi kota besar, ibukota dari kerajaan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Masyarakat Samirah itu adalah para penyembah berhala dan pelaku berbagai macam kemaksiatan, termasuk sodomi dan liwath (homoseksual). Orang tua Dajjal memiliki sesembahan berhala yang mirip dengan sapi betina, dan sejak pernikahannya, mereka selalu membuat persembahan kepada berhalanya itu, dengan permintaan agar mereka diberi keturunan seorang anak laki-laki.
Setelah tigapuluh tahun berlalu, barulah istrinya mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, tetapi kedua matanya cacat, satu saja yang bisa melihat dan tubuhnya tidak banyak bergerak. Selama bertahun-tahun layaknya ia hanya tidur saja, tetapi anehnya ia tumbuh sebagaimana bayi pada umumnya. Pada umur empat tahun, di suatu malam ia bergerak meninggalkan tempat tidurnya di antara ayah ibunya dan berpindah ke sebelah berhala mirip sapi betina itu, dan tidur di sana. Beberapa kali dikembalikan, ia berpindah lagi ke sisi berhala itu tanpa diketahui siapapun. Keadaan yang menghebohkan itu sempat membuat ayahnya diperiksa dan ditahan oleh Hakim.
Ketika ia berusia lima tahun, Allah menimpakan azab pada penduduk Samirah, buminya diguncang gempa amat keras hingga tanahnya terbalik seperti yang terjadi kaum Sadumi dan Amurah. Anehnya, anak kecil berusia lima tahun itu selamat, tinggal sendirian di antara reruntuhan puing-puing yang berserakan. Sepertinya Allah mempunyai ‘rencana besar’ dengan anak kecil tersebut, dan memerintahkan Jibril untuk memindahkan anak tersebut ke suatu pulau terpencil di antara berbagai pulau di “belantara” Laut Yaman, bagian dari Samudra Hindia.
Walau terpencil, pulau tersebut memiliki semua kelengkapan untuk kehidupan, air yang segar, buah-buahan dan berbagai jenis makanan lainnya. Di sana juga ada gua yang cukup besar dan nyaman, yang bisa melindunginya dari panas dan hujan. Allah menugaskan Jibril untuk merawat dan mengajari anak kecil tersebut, khususnya tentang aqidah dan keimanan, termasuk tentang akan datangnya Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul. Secara khusus Allah menciptakan seekor binatang berbulu sangat tebal, yang bisa berbicara seperti manusia, yang disebut Al-Jassasah (yang selalu memata-matai). Al-Jassasah inilah yang sehari-harinya mengajar anak kecil, calon fitnah akhir zaman, Dajjal. Ajaran-ajaran yang disampaikan malaikat Jibril itu tertulis pada tujuh buah panel/dinding batu yang ada di salah satu bagian dari pulau tersebut.     
Setelah bertahun-tahun tinggal di pulau itu dan ia makin dewasa, suatu ketika ada perahu yang merapat di pulau tersebut, dan ia dibawa serta ke luar pulau. Mereka beranggapan, lelaki itu mungkin korban dari salah satu perahu yang tenggelam dan terdampar di pulau itu. Mereka menurunkan calon Dajjal ini di daratan Yaman yang jaraknya sekitar 4000 km dari pulau tersebut. Ia mulai mengembara, menjelajah berbagai tempat, dan karena Allah membekalinya dengan otak yang sangat jenius, ia belajar dengan cepat dan kepandaiannya makin meningkat, dengan mudah pula menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru. Ia membahasakan (menamakan) dirinya dengan Ibnu Samirah, dinisbahkan pada tempat asalnya seperti diceritakan al Jassasah.
Ia bekerja menjadi pelayan seorang filosof Yaman. Suatu ketika sang filosof tertarik untuk memeriksa daya pikir dan keanehan perilakunya, dan akhirnya sang filosof menyimpulkan, “Jika engkau bisa hidup lama, engkau bisa menjadi seorang raja yang sangat adil, atau sebaliknya raja yang sangat lalim!!”
Setelah tinggal beberapa tahun lamanya bersama sang filosof, Ibnu Samirah berkeinginan untuk mengunjungi negeri asalnya Samirah, yang berada di Palestina. Ia membeli sebuah perahu besar dan menggaji beberapa nelayan untuk menjalankannya. Segala kebutuhan dan perlengkapan juga dipersiapkan dalam perahunya itu. Tetapi sebelum mengarahkan ke Palestina, ia ingin mengunjungi pulau terpencil tempat masa kecilnya tinggal bersama al Jassasah. Walau tidak mudah bagi orang lain menemukannya, tetapi kekuatan ingatan dan pikirannya dengan mudah membawanya ke pulau itu.
Ketika ia berlabuh dengan perahu kecil di pantainya, al Jassasah menatapnya dengan tajam, tetapi kemudian meninggalkannya ke dalam hutan tanpa berkata apapun. Ibnu Samirah berjalan berkeliling mengenang masa kecilnya. Tidak terasa ia telah berusia seratus tahun lebih, tetapi sama sekali tidak ada gurat ketuaan di wajahnya. Bahkan tampaknya ia makin merasa kuat dan tegar, layaknya ketika berusia tigapuluhan. Ketika sampai pada panel batu yang bertuliskan pengajaran Malaikat Jibril, ia menemukan sebuah bejana berisi semacam tinta yang digunakan menulis pada batu. Ia mengambil bejana tersebut, ia juga mengambil atau memotong dari tiap panel batu pengajaran itu untuk kenang-kenangan. Kemudian ia kembali lagi ke perahunya dan mengarahkan ke Palestina.
Setelah beberapa hari lamanya mengarungi lautan, ia berlabuh di salah satu lembah di Palestina yang tersembunyi. Ia meneruskan ke Samirah dengan onta yang dibelinya. Walau ia tidak menemukan apa-apa dari negeri Samirah yang masih luluh lantak tanpa penghuni, dari beberapa orang berusia lanjut di negeri sekitar Samirah seperti al-Jalil dan al-Arbad, ia mendengar kisah tentang anak kecil yang diambil dewa-dewa ke pangkuannya. Ada juga kisah selentingan tentang anak kecil yang diculik malaikat ketika terjadi bencana besar yang menghancurkan Samirah. Kisah-kisah tersebut seolah membenarkan jati dirinya seperti yang diceritakan oleh al Jassasah.
Setelah tinggal di Palestina beberapa tahun lamanya, ia memutuskan menuju negeri sang Fir’aun, Mesir. Ia ‘melamar’ menjadi pelayan seorang dukun terkenal di negeri itu, yang dengan senang hati menerimanya setelah mengetahui kemampuan dan kecerdasannya. Saat itu Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS sedang mendakwahkan agama Tauhid kepada Fir’aun dan masyarakat Mesir, khususnya kaum Bani Israil yang hidup dalam perbudakan di negeri itu. Dukun yang diikutinya itu seorang yang berusia tigaratus tahun dan sangat mengenal sejarah hidup Nabi Musa AS di Mesir. Ketika ia mendengar kisah Musa tersebut, ia segera menceritakan kisah kehidupannya, yang segera saja sang dukun berkata, “Kalau begitu engkau adalah Musa yang lain, yakni Musa dari Samirah (Musa as Samiri).”
Mungkin karena inilah, muncul suatu ungkapan dari sebagian ulama dalam hal pendidikan dan pengajaran, “Musa yang dididik oleh Fir’aun menjadi salah seorang Nabi dan Rasul, sedang Musa (as Samiri) yang dididik oleh malaikat Jibril malah menjadi orang yang paling ingkar kepada Allah…!!”
Ibnu Samirah sangat kagum dengan komentar sang dukun itu, dan ia merasa derajadnya tidaklah terlalu jauh daripada Nabi Musa AS. Setelah beberapa waktu lamanya, ia memutuskan untuk bergabung dengan Bani Israil karena ada kedekatan kedaerahan dan garis darah leluhurnya yang bertemu dengan Nabi Musa, yakni pada Nabi Ya’kub. Ia juga menikahi salah seorang wanita Bani Israil tetapi tidak mempunyai keturunan. Namun demikian, walau ia melihat berbagai macam mu’jizat yang ditunjukkan Nabi Musa AS, hatinya tidak bisa sepenuhnya mengimani Nabi Musa AS, termasuk juga mengimani Allah SWT. Sementara itu, beberapa orang dari Bani Israil menunjukkan penghargaan dan kedekatannya kepada Ibnu Samirah karena kecerdasan dan kepiawaiannya dalam beberapa hal. Walau tidak banyak, mereka itu layaknya ‘budaknya’ Ibnu Samirah, yang akan selalu menurut jika diperintahkannya.
Ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Bani Israil untuk meninggalkan Mesir menuju Palestina, Ibnu Samirah ikut serta dalam rombongan besar itu. Beberapa kali lagi ia melihat dengan mata kepalanya sendiri mu’jizat Nabi Musa AS, termasuk membelah lautan dengan tongkat beliau, tetapi semua itu tidak membuatnya beriman. Bahkan terbersit dalam pikirannya, “Akupun bisa melakukannya suatu saat nanti, bahkan bisa lebih dahsyat!!”
Ketika Bani Israil telah selamat dari kejaran Fir’aun dan tiba di sisi gunung Thursina, Nabi Musa meninggalkan mereka dalam pengawasan Nabi Harun untuk segera ‘menghadap’ Allah di Bukit Thursina. Pada saat itulah Ibnu Samirah membikin ulah dengan membuat sebuah patung anak sapi dari emas dan dapat bersuara, dan mengatakan bahwa itulah tuhannya Musa dan Bani Israil. Sebagian besar dari mereka mempercayainya dan menyembah patung emas tersebut, segala upaya dilakukan oleh Nabi Harun untuk mencegah mereka tetapi mengalami kegagalan.
Lebih lengkapnya bisa dilihat dalam Al Qur’an Surat Thaha ayat 83-97, lebih baik lagi kalau dilengkapi dengan tafsirnya. Hanya saja yang menjadi dasar renungan Syech Muhammad Isa Dawud sehingga ‘menyimpulkan’ bahwa Samiri atau Ibnu Samirah ini adalah calon Dajjal, adalah sikap Nabi Musa dalam peristiwa itu.
Begitu turun dari Thursina sambil membawa shuhuf yang terbuat dari batu berisi Perintah-perintah Allah (The Ten Command The Men, istilah baratnya), Nabi Musa melihat kaumnya telah menyembah dan menari-nari di depan tuhan barunya, sebuah patung sapi betina dari emas yang bisa bersuara. Hati Nabi Musa sangat marah, mukanya merah padam dan tanpa disadari beliau melemparkan shuhuf yang beliau pegang sambil berteriak keras. Mendengar suara keras beliau tersebut, kaum Bani Israil langsung menghentikan aktivitas penyembahannya dengan ketakutan.
Kemudian Nabi Musa menghampiri Nabi Harun, menarik janggut dan memegang kepalanya dan berkata dengan marah, seolah-olah Nabi Harun telah mengabaikan perintahnya, lihat Surat Thaha ayat 92-94. Padahal Nabi Harun telah berusaha keras, tetapi beliau tidak mampu mempengaruhi Bani Israil yang telah berada di bawah kendali dan pengaruh Samiri atau Ibnu Samirah itu.
Tetapi ketika Nabi Musa menghadapkan diri kepada Samiri, otak dari segala macam kekacauan dan fitnah bagi Bani Israil sepeninggal beliau ke Thursina, Al Qur’an (Surat Thaha ayat 95-97) tidak menjelaskan ‘sikap keras’ Nabi Musa seperti sebelumnya, bahkan akhirnya beliau hanya berkata, “Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu dalam kehidupan dunia ini hanya bisa berkata : Janganlah menyentuhku. Dan sesungguhnya bagimu telah ada ketentuan waktu, yang kamu tidak akan bisa menghindarinya….!!” (QS Thaha 97).  
Nabi SAW telah menjelaskan, “Sesungguhnya saya memperingatkan kalian akan Dajjal. Dan tidak ada seorang nabi-pun kecuali mereka mengingatkan kaumnya (tentang dirinya). Akan tetapi saya akan menyampaikan kepada kalian apa yang belum pernah disampaikan nabi-nabi kepada kaumnya. Sesungguhnya ia (Dajjal) itu buta sebelah dan sesungguhnya Allah tidaklah buta sebelah. Dan tertulis di antara kedua mata Dajjal ka-fa-ra (artinya kafir)!!”
Mungkin ketika Nabi Musa menghadap ke Samiri, beliau melihat tanda-tanda Dajjal pada dirinya. Karena itu, walau beliau termasuk seorang yang sangat keras dalam menerapkan syariat, tetapi beliau membiarkan Samiri pergi, karena beliau meyakini Allah telah mempunyai rencana sendiri dengan dirinya. Sementara kepada kaum Bani Israil yang menyatakan dirinya bertobat, beberapa di antara mereka yang punya andil besar dalam penyembahan berhala tersebut, disyaratkan untuk bunuh diri agar taubatnya diterima, dan mereka mau melakukannya. Bagaimanapun, kehidupan akhirat jauh lebih bak daripada kehidupan dunia.
Setelah diusir Nabi Musa, Ibnu Samirah kembali melanjutkan pengembaraannya dari satu negeri ke negri lainnya. Entah berapa tahun atau berapa abad perjalanannya ia hampir tidak merasakannya karena ia tetap dalam kemudaannya. Pengetahuannya makin bertambah banyak dan semua itu makin menambah kesombongan dan ambisinya. Setelah cukup lelah menjelajah, ia memutuskan untuk kembali ke pulau tempat ia dibesarkan. Ia mengira, al Jassasah yang telah menjadi ‘teman’ masa kecilnya itu telah mati, ternyata tidak. Ia menemukannya di dekat panel batu yang berisi pengajaran malaikat Jibril. Tetapi ia sama sekali tidak berbicara (menjawab) ketika diajaknya bercakap-cakap. Yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan yang berulang-ulang, “Laa ilaaha illallaah, lahul mulku wa lahul hamdu, yukhyii wa yumiit, wahuwa ‘alaa kulli syai-in qodiir!!”
Setelah beberapa waktu lamanya hidup di pulau itu tanpa bisa berkomunikasi, ia kembali mengadakan perjalanan berkelana. Ia mendengar tentang seorang nabi yang menghebohkan, dengan gelaran al masih, yakni Nabi Isa AS. Ibnu Samirah tidak mau langsung bertemu atau menyatu dengan umat Nabi Isa seperti ketika dengan Nabi Musa dahulu. Ia mengirim seorang utusan sementara ia menunggu di luar, dengan sebuah pesan kepada Nabi Isa AS, “Jika engkau benar-benar seorang nabi, katakan kepadaku siapa yang di luar?”
Ketika utusan itu menghadap Nabi Isa dan menyampaikan pesan tersebut, sejenak Nabi Isa terdiam, kemudian beliau bersabda, “Wahai saudaraku, katakan kepada orang yang mengutusmu itu, bahwa Allah yang Maha Perkasa dan Maha Agung menerima taubat dan mengampuni semua dosa hamba-Nya, jika hamba tersebut mau bertaubat dan mengesakan Allah maka ia benar-benar akan kembali (suci). Allah-lah yang melindungi anak kecil yang sedang tidur dari kekejaman penguasa, Dia-lah pula yang memeliharanya di pulau tempat tinggal binatang raksasa ketika ia masih kecil. Dia-lah yang mengajarkan kepadanya Keesaan Allah dan shalat melalui tulisan kepercayaan-Nya Jibril. Dia Maha Kuasa untuk memaafkan fitnah yang dibuatnya kepada Bani Israil, asalkan dia beriman kepada al Masih ar Rabb (yakni Nabi Isa AS), dan kepada kitab Injil yang diturunkan kepadanya..!!”
Setelah mendengar jawaban tersebut dari orang yang diutusnya, Ibnu Samirah segera berlalu pergi. Tampaknya pengalaman pahit ketika bertemu dengan Nabi Musa membuatnya jengah untuk bertemu dan bergaul dengan Nabi Isa, apalagi tidak niatan sama sekali dalam hatinya untuk bertaubat. Maka ia melanjutkan ‘tradisi’ pengembaraannya dari satu negeri ke negeri lainnya. Kalau ada suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya, maka ia akan segera menuju ke tempat itu. Setelah berabad-abad tanpa ia menyadarinya, kerinduannya kepada pulau tempat al Jassasah itu muncul juga, dan ia mengarahkan perahunya ke sana.
Ibnu Samirah menambatkan perahunya dan berjalan menuju gua tempat tinggalnya dulu. Tetapi tiba-tiba muncul al Jassasah menghalangi jalannya, binatang raksasa berbulu tebal ‘teman’ masa kecilnya itu tidak sendirian. Ada duapuluh orang berwajah seperti matahari, tingginya seperti pepohonan dan masing-masing dari mereka membawa semacam rantai besi bercampur baja yang mengkilat laksana emas. Ibnu Samirah yang mempunyai pengetahuan luas tentang berbagai macam barang tambang di bumi, sepertinya tidak mengenali jenis logam tersebut.
Tiba-tiba saja ia merasakan suatu ketakutan amat dalam sehingga tubuhnya menggigil. Padahal selama ini ia tidak pernah merasa takut kepada apapun dan siapapun, termasuk ketika ia menghadapi Nabi Musa AS, setelah fitnah yang dikobarkannya lewat patung emas anak sapi yang sempat menjadi sesembahan Bani Israil. Ketakutan yang pertama kali dirasakannya itu membuat ia lupa jati dirinya, lupa pada kecerdikannya, kekuatannya, kesombongannya, ambisinya dan lupa pada semua kelebihannya yang selama ini menjadi andalannya. Dengan terbata-bata ia berkata, “Apa ini? Siapa mereka? Bagaimana mereka sampai di sini?”
Al Jassasah berkata dengan tegas, “Wahai orang yang paling bodoh, engkau telah menyia-nyiakan dua kesempatan (untuk bertaubat, yakni ketika bertemu dengan Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS), dan kini tidak tersisa lagi bagimu kecuali janji terakhir!!”
Belum sempat Ibnu Samirah berkata atau berbuat apapun, duapuluh orang berwajah cahaya itu menyerangnya dan ia langsung pingsan karena takutnya. Ketika terbangun, ia telah berada di dalam gua, kaki dan tangannya terbelenggu dengan rantai yang cukup panjang sehingga ia bisa bergerak leluasa di dalam gua tersebut. Ketika ia mencoba mengerahkan kekuatan dan ilmunya untuk membuka/mematahkan rantai tersebut, tampaknya sia-sia saja. Padahal berbagai jenis logam di bumi dengan mudah ‘dikendalikan’ dengan ilmu dan kekuatannya.
Al Jassasah yang juga berada di dalam gua itu, setelah melihatnya putus asa dengan segala upayanya, berkata dengan tegas kepadanya, “Wahai Dajjal masa depan, sekarang engkau berada di zaman penutup para nabi, kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW. Ia telah lahir beberapa hari yang lalu ketika engkau berada di tengah lautan. Engkau berada di penghujung akhir zaman di bumi. Janji Allah telah datang masanya, engkau tidak akan terlepas dari belenggumu itu kecuali jika telah kekasih Allah, Muhammad SAW telah wafat, berpulang ke hadirat Yang Maha Tinggi. Sedangkan tanda keluarmu sebagai orang yang paling sombong di muka bumi adalah terputusnya pohon kurma Baisan (dari berbuah), berkurangnya air danau Thabariyah, mengeringnya mata air Zhugar, dan banyak terjadinya gempa bumi yang dahsyat…!!”
Setelah itu al Jassasah meninggalkannya sendiri. Sesekali ia datang ke dalam gua membawa berbagai buah-buahan, tetapi tidak pernah berbicara atau menjawab ketika diajak bicara, kecuali hanya pandangan keprihatinan. Beberapa puluh tahun berselang, sekelompok orang dari Palestina terdampar di pulau itu karena perahunya mengalami kerusakan. Mereka itu adalah Tamim ad Daari, seorang pendeta Nashrani dan teman-temannya, yang sempat melakukan pembicaraan dengan Ibnu Samirah atau calon Dajjal ini, dan akhirnya memeluk Islam dan menjadi salah seorang sahabat Nabi SAW. Lihat kisahnya dalam laman “Percik Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW” di bawah judul “Tamim ad Daari”.
Dalam versi Syech Muhammad Isa Dawud ini, setelah Rasulullah SAW wafat, belenggu Ibnu Samirah atau Dajjal tersebut tiba-tiba melunak dan dengan mudah ia melepaskan diri. Ia segera keluar dari pulau tersebut dan sepertinya ia tidak pernah ingin kembali lagi ke pulau tersebut setelah ‘pengalaman pahit’ 63 tahun (qomariah/hijriah atau 61 tahun masehi) terbelenggu dalam keadaan lemah tak berdaya. Tak lupa al Jassasah mengantar kepergiannya dengan doa laknat sebagaimana laknat yang ditimpakan Allah kepada Iblis. Ia kemudian melanjutkan kebiasaannya melanglang buana ke seluruh penjuru dunia, khususnya negeri-negeri yang belum pernah dikunjunginya.
Dalam versi lainnya, yakni pengajian dari para ulama yang pernah saya dengar, belenggu Dajjal sebenarnya belum terlepas sampai saat ini. Setiap saat ia ‘menggerogoti’nya agar belenggu itu terlepas, tetapi bersamaan dengan itu, setiap kali adzan dikumandangkan, belenggu itu makin kuat dan makin menebal lagi. Tetapi Dajjal tidak pernah beristirahat dan putus asa untuk berusaha memutuskan belenggu tersebut. Jika suatu saat nanti di bumi tidak ada lagi yang mengumandangkan adzan, tidak ada lagi yang menguatkan belenggu Dajjal dan ia akan terlepas dan menyebarkan fitnah ke seluruh penjuru dunia. Namun untuk kisah versi yang ini, saya belum menemukan rujukan kitabnya. Wallahu ‘Alam.

Senin, 26 Maret 2012

Ketika Kaum Musyrikin “Terpaksa” Bersujud

Suatu ketika di tahun ke lima dari nubuwwah, saat itu bulan ramadhan, Nabi SAW datang ke Masjidil Haram dan di sana telah berkumpul beberapa orang pembesar dan pemuka kaum Quraisy. Kemudian beliau membaca Surat an-Najm yang berjumlah 62 ayat. Surat itu memang ayatnya pendek-pendek dan berkesan seperti susunan syair, tetapi jauh-jauh lebih indah dan bermakna. Kaum Quraisy, dan orang-orang Arab pada umumnya saat itu memang selalu membangga-banggakan syair, sangat menghargai dan menjunjung tinggi seorang penyair yang hebat.
Ketika Nabi SAW melantunkan ayat demi ayat dari Surat an Najm itu, mereka seperti terhipnotis, terpesona dengan keindahannya. Sepanjang usia mereka, belum pernah mereka mendengar rangkaian kata yang begitu indah dan bermakna sangat dalam seperti yang sedang dilantunkan Rasulullah SAW. Bahkan mereka sampai lupa kalau yang sedang melantunkan ayat-ayat itu adalah orang yang sangat mereka benci, bahkan kalau bisa mereka ingin membunuhnya saja. Mereka makin tenggelam dalam kekhusyu’an dan kekhidmatan, setiap kali bibir Rasulullah SAW melantunkan ayat-demi ayat itu.
Ketika beliau melantunkan ayat terakhir, ayat ke 62 yang merupakan Ayat Sajdah, “Maka bersujudlah kamu kepada Allah dan sembahlah Dia!!” (Fasjuduu lillaahi wa’buduu!!).
Tanpa dapat ditahan lagi, mereka semua itu bersujud dengan bercucuran air mata penuh haru. Tampaknya keagungan dan kehalusan kalam Allah benar-benar menguasai emosi mereka, walau akalnya mungkin menolak. Orang-orang musyrik lainnya yang berada agak jauh dari tempat itu sangat terkejut melihat keadaan tersebut. Mereka segera mendatangi mereka dan mencaki-maki dan mencela sikapnya itu.
Mendengar cacian dan celaan itu, orang-orang musyrik yang tadinya bersujud segera menyadari keadaannya. Mereka seolah-olah baru terbangunkan dari suasana terhipnotis tanpa menyadari apa yang mereka lakukan. Antara malu dan marah karena bersujud di hadapan Nabi SAW, mereka segera membuat kebohongan untuk menutupi rasa malunya. Mereka menyatakan bahwa Nabi SAW menyebutkan kemuliaan dan sanjungan kepada berhala-berhala mereka, karena itu mereka bersujud. Sungguh suatu alasan yang menggelikan, yang kebanyakan kaum musyrikin sendiri tidak mempercayai alasan tersebut.
Berita sujudnya kaum musyrikin di hadapan Nabi SAW itu menyebar ke mana-mana, termasuk kepada kaum muslimin yang berhijrah di Habasyah. Hanya saja kabar yang sampai kepada mereka, kaum Quraisy telah dapat menerima ajaran Nabi SAW. Karena itu pada bulan syawal, sebagian besar dari mereka segera kembali ke Makkah dengan riang gembira. Tetapi sampai di pinggiran kota Makkah, mereka tahu bahwa berita itu tidak benar. Bahkan mereka melihat kaum Quraisy telah siap menangkap mereka kembali. Sebagian besar dari mereka kembali ke Habasyah, dan sebagian lagi masuk ke Makkah dengan diam-diam dan mencari jaminan perlindungan dari tokoh-tokoh Quraisy yang dikenalnya.

Perjalanan Nabi SAW di Dalam Mimpi

            Telah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW, usai shalat subuh berjamaah, beliau menghadapkan wajah kepada para sahabat dan berkata, “Siapakah di antara kalian yang bermimpi tadi malam?”
            Siapa saja yang bermimpi, mereka akan menceritakannya kepada Nabi SAW, dan beliau akan memberikan tanggapan dan komentar seperlunya, misalnya, beliau akan berkata “Masyaa Allah!!”
            Suatu ketika beliau bertanya seperti biasanya, tetapi tampaknya tidak ada yang bermimpi pada malam itu. Nabi SAW justru berkata, “Tetapi aku bermimpi semalam…!!”
            Kemudian Nabi SAW menceritakan bahwa ada dua orang mendatangi beliau dan mengajak beliau menuju bumi yang suci (al-Ardhul Muqaddasah, mungkin maksudnya Baitul Makdis di Yerusalem, atau mungkin bumi lainnya lagi). Dalam perjalanan itu beliau melihat pemandangan dua orang, satu orang duduk satunya lagi berdiri sambil membawa sepotong besi berkait (kalub). Lelaki yang berdiri itu menancapkan kalub ke pipi orang yang duduk, dari kedua sisinya sehingga kedua pipinya itu menyatu. Ketika dilepas, pipinya itu kembali seperti sediakala, dan lelaki yang berdiri itu mengulangi lagi perbuatannya. Begitu seterusnya berulang-ulang.
            Ketika Nabi SAW bertanya, “Apakah ini?”
            Dua orang itu berkata, “Teruslah berjalan!!”
            Maka beliau meneruskan perjalanan lagi. Dan sekali beliau melihat suatu pemandangan, satu orang tidur terlentang, dan satunya lagi berdiri sambil memegang batu besar. Orang yang berdiri itu melemparkan batu ke kepala orang yang tidur hingga pecah berantakan, dan ia mengambil lagi batu itu. Ketika ia berdiri kembali di tempat semula, kepala orang yang tertidur itu telah utuh lagi seperti sediakala. Dan lelaki itu kembali melemparkan batu ke kepala yang tertidur, begitu terjadi berulang-ulang. 
            Ketika Nabi SAW bertanya, “Siapakah ini?”
            Dua orang itu berkata, “Teruslah berjalan!!”
            Nabi SAW berjalan lagi diikuti dua orang itu. Dan beliau melihat suatu lubang semacam tungku, atasnya sempit, bawahnya lebar, dan di dalamnya ada api yang menyala-nyala dan sekumpulan orang, lelaki dan perempuan yang telanjang. Api itu terus membara dan mendorong orang-orang itu ke atas. Tetapi ketika mereka hampir terlempar ke luar dari lubang tersebut, api itu padam dan mereka jatuh lagi ke dasar lubang. Mulailah api menyala lagi, dan berulang lagi seperti sebelumnya.
            Ketika Nabi SAW bertanya, “Siapa pula mereka ini?”
            Dua orang itu berkata, “Teruslah berjalan!!”
            Nabi SAW meneruskan perjalanan, hingga beliau sampai pada sebuah sungai darah. Di dalam sungai itu ada seseorang yang berusaha keluar, berjalan atau berenang ke tepian. Tetapi di tepian telah menunggu seseorang lainnya dengan sebuah batu cukup besar di tangannya. Setiap kali orang pertama hampir tiba di tepian, orang kedua melemparkan batunya tepat mengenai mulut orang yang di dalam sungai itu sehingga ia terlempar lagi ke tengah sungai, sementara batu itu seperti memantul dan ditangkap lagi oleh orang yang di pinggir sungai.  Begitulah berulang-ulang terjadi.
            Nabi SAW berkata, “Siapa pula itu?”
            Dua orang itu berkata, “Teruslah berjalan!!”
            Mereka bertiga meneruskan perjalanan meninggalkan sungai darah, hingga tiba di suatu kebun yang menghijau indah. Dalam kebun itu ada sebatang pohon besar di mana pada pangkal atau pokok pohonnya ada seorang lelaki tua dengan beberapa orang anak. Seorang lelaki lain tampak sedang menyalakan api di hadapan lelaki tua tadi, juga tidak jauh dari pohon tersebut.
            Dua orang lelaki tadi membawa Rasulullah SAW menaiki pohon tersebut, dan terus memasuki suatu rumah yang begitu indah. Belum pernah rasanya Nabi SAW melihat rumah yang seindah itu. Di dalam rumah tersebut, beliau melihat cukup banyak orang, baik laki-laki atau perempuan, pemuda ataupun anak-anak. Kemudian kedua lelaki itu kembali mengajak Nabi SAW berlalu, naik menuju suatu rumah yang jauh lebih indah lagi daripada rumah sebelumnya yang beliau kunjungi. Di dalam rumah tersebut tampak beberapa orang lelaki dewasa dan para pemuda.
Rumah tersebut tampaknya pemberhentian terakhir dari perjalanan Nabi SAW karena sampai beberapa waktu lamanya mereka tidak lagi mengajak beliau pergi, dan beliau sendiri cukup nyaman berada di rumah itu. Nabi SAW bersabda, “Wahai tuan-tuan, kalian telah membawa aku berjalan berkeliling malam ini, sekarang tolong dijelaskan kepadaku semua pemandangan yang telah kulihat itu.
Maka dua lelaki itu berganti-ganti memberikan perjelasan, salah satu dari mereka berkata, “Adapun orang yang pipinya ditusuk dengan besi berkait (kalub) hingga menyatu, dia itu adalah pembohong. Ia menceritakan suatu kebohongan, dan diterima, kemudian kebohongan itu menyebar kemana-mana. Begitulah ia akan diperlakukan (disiksa) hingga hari kiamat tiba…!!”
Salah satunya lagi berkata, “Sedangkan orang yang engkau lihat tidur terlentang dan kepalanya dihantam dengan batu hingga pecah berantakan, dia adalah orang yang oleh Allah diajarkan Al Qur’an kepadanya, tetapi ia tidur saja di malam hari dan tidak pernah mengamalkannya di siang hari. Begitulah mereka diperlakukan (disiksa) hingga hari kiamat tiba!!”
Salah satunya lagi berkata, “Adapun orang-orang yang engkau lihat berada di dalam lubang semacam tungku, yang berisi api yang membara dan menggelegak, mereka itu adalah para pezina. Sedangkan orang yang berenang di sungai darah dan dilempar batu tepat pada mulutnya, mereka adalah para pemakan riba. Begitulah mereka akan disiksa hingga hari kiamat tiba!!”
Salah satu dari mereka berkata lagi, “Orang tua yang engkau lihat di pokok pohon adalah Nabi Ibrahim AS, dan anak-anak yang berada di sekitarnya adalah anak-anak dari orang banyak. Lelaki yang menyalakan api di dekat pohon adalah Malaikat Malik, penjaga neraka. Rumah yang pertama-tama engkau masuki adalah rumah umum kaum muslimin (yang selamat), sedang rumah ini adalah khusus untuk para syuhada’!!”
Nabi SAW terkagum-kagum mendengar penjelasan tersebut, sedih bercampur gembira. Sedih karena beberapa siksaan yang akan dialami oleh beberapa dari umat beliau, senang karena merasakan keindahan dua rumah yang disediakan bagi umat beliau juga. Kemudian salah seorang dari mereka berkata lagi, “Saya adalah Jibril dan kawan saya ini adalah Mikail. Tolong engkau angkat kepala engkau!!”
Nabi SAW mengangkat kepalanya, dan beliau melihat semacam awan yang di atasnya terdapat suatu rumah yang sangat-sangat indahnya, jauh lebih-lebih indah daripada rumah yang beliau tempati saat itu.
Malaikat Jibril berkata, “Itulah tempat tinggal engkau!!”
Nabi SAW berkata, “Biarkanlah aku ke sana sekarang!!”
Jibril berkata lagi, “Sekarang masih ada sisa usia engkau, nanti jika telah tiba masanya, engkau akan pergi ke tempat itu dan tinggal di dalamnya!!”
Setelah itu Nabi SAW terbangun dari mimpi beliau. Para sahabat yang berjamaah subuh pada hari itu sangat gembira mendengar cerita mimpi beliau tersebut. Mereka makin menggencarkan amal-amal kebaikan mereka, khususnya makin menggelorakan semangat berjihad, dan menghindarkan diri dari berbagai macam kemaksiatan, khususnya yang telah diceritakan dalam mimpi beliau tersebut.

Rabu, 21 Maret 2012

Nabi SAW Diancam akan Dibunuh

            Pada bulan Rabi’ul awwal tahun 7 hijriah (riwayat lainnya, tahun 4 hijriah),  Nabi SAW memperoleh informasi bahwa kabilah Bani Tsa’labah dan Bani Muharib, termasuk suku Ghathafan, bersekutu untuk menyerang Madinah, bahkan tidak jarang sebagian dari mereka telah mengganggu kaum  muslim yang tinggal cukup jauh dari Madinah. Karena itu beliau memimpin satu pasukan berjumlah 700 orang (riwayat lain, 400 orang) menuju suku tersebut di daerah Najd. Suku Ghathafan ini memang terkenal kekuatannya sejak masa jahiliah dan sangat ditakuti, suku ini pula yang bersekutu dengan Suku Quraisy untuk menyerang Madinah pada Perang Khandaq (Ahzab).
            Setelah dua hari perjalanan, beliau tiba dan beristirahat di Nakhl, tidak jauh dari Ghathafan. Kebanyakan anggota pasukan tersebut berjalan kaki sehingga banyak yang kakinya pecah-pecah (terluka) dan ada yang kukunya terkelupas. Mereka membalut kaki-kaki mereka dengan kain-kain perca, karena itulah peperangan itu diberi nama Dzatur Riqa’ (yang ada tambalannya), dan tempat mereka singgah diberi nama yang sama.
            Melihat kehadiran pasukan Nabi SAW di Nakhl, kabilah-kabilah dari suku Ghathafan itu merasa ketakutan. Sebagian dari mereka menawarkan perdamaian atau menyerah di bawah kekuasaan Madinah, termasuk kabilah Bani Tsa’labah dan Bani Muharib. Sebagian kecil lainnya ada yang memeluk Islam. Pada akhirnya, berangsur-angsur makin banyak dari suku Ghathafan ini yang memeluk Islam.
            Jadi tidak terjadi bentrok senjata langsung dalam Perang Dzatur Riqa’ ini, dan kaum muslimin beristirahat cukup tenang di Nakhl, termasuk juga Rasulullah SAW. Namun demikian, ada saja satu dua orang yang tidak puas dengan perdamaian itu. Salah seorang musyrikin bernama Ghaurats bin Harits yang berasal dari Bani Muharib, berniat untuk membunuh Nabi SAW. Ia berhasil menyelinap di perkemahan kaum muslim, dan ia melihat Nabi SAW sedang tertidur di bawah pohon (riwayat lain menyebutkan, beliau sedang duduk-duduk, atau riwayat lain, sedang shalat), dan pedang beliau tergantung di sebuah ranting. Ghaurats mengambil pedang itu mengacungkan kepada beliau sambil menghardik, “Wahai Muhammad, tidakkah engkau takut kepadaku?”
            Nabi SAW yang segera terbangun, berkata dengan tenang, “Tidak!!”
            “Siapakah yang akan menghalangiku untuk membunuhmu?” Tanya Ghaurats lagi.
            “Allah!!” Kata Nabi SAW.
            Mendengar  kata ‘Allah’ yang terlontar dari bibir Rasulullah SAW itu, tiba-tiba tubuhnya serasa lumpuh dan pedang itu terlepas dari tangannya, dan ia jatuh terduduk. Beliau segera mengambil pedang itu dan mengacungkannya kepada Ghaurats, dan bersabda, “Siapa yang bisa menghalangiku untuk membunuhmu?”
            Ghaurats berkata, “Tidak ada!! Jadilah engkau orang yang sebaik-baiknya menjatuhkan hukuman!!”
            Nabi SAW tersenyum mendengar jawabannya itu, dan berkata, “Kalau begitu bersaksilah engkau bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah!!”
            “Tidak,” Kata Ghaurats, “Tetapi aku berjanji kepadamu untuk tidak memusuhimu, dan tidak akan bergabung dengan orang-orang yang memusuhimu!!”
            Memang tidak ada paksaan dalam memeluk Islam, hidayah adalah hak mutlak Allah, terserah Allah kepada siapa akan diberikan. Beliau tidak memaksa Ghaurats, bahkan beliau memaafkan dan melepaskannya. Ketika tiba kembali di antara kaumnya, Ghaurats berkata, “Aku baru saja kembali dari sebaik-baiknya orang di dunia ini!!”
            Dalam riwayat lain disebutkan, lelaki yang ingin membunuh Nabi SAW dalam peristiwa tersebut adalah seorang Badui bernama Du’tsur. Setelah gagal dan Nabi SAW memaafkannya, ia kemudian memeluk Islam. Sebagian riwayat lain menyebutkan, Ghaurats dan Du’tsur adalah dua peristiwa yang hampir sama, tetapi terjadi dalam peperangan yang berbeda.

Nabi SAW Menyambut Utusan Kaum Fuqara’

            Suatu ketika seorang lelaki menghadap Nabi SAW. Setelah mengucap salam dan dipersilahkan duduk, orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, saya adalah utusan sekelompok orang-orang fakir (fuqara’) kepadamu!!”
            Mata Rasulullah SAW tampak berbinar, kemudian bersabda dengan gembira, “Marhaban (selamat datang) untukmu dan orang-orang yang telah mengutusmu. Sungguh kamu datang dari tengah-tengah kaum yang dicintai Allah…!!”
            Lelaki itu tampak sangat gembira dengan sambutan beliau, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum fuqara’ itu berkata : Sesungguhnya orang-orang kaya (aghniya’) bisa mengerjakan semua amal kebaikan. Mereka bisa berhaji sedangkan kami tidak mampu, mereka bisa shadaqah sedangkankan kami tidak mempunyai kemampuan seperti mereka, apabila mereka sakit, mereka bisa memberikan kelebihan hartanya sebagai simpanan (di akhirat)…!!”
            Tentu saja Nabi SAW gembira dengan pernyataan utusan tersebut. Kaum fuqara’ itu tidak mengeluhkan kesulitan hidup yang mereka hadapi karena kekurangannya, tetapi ‘mengeluhkan’ ketertinggalannya dalam berbuat baik (beramal saleh) yang berhubungan dengan harta. Maka dengan tersenyum beliau bersabda, “Sampaikanlah kepada kaum yang mengutusmu, barang siapa yang sabar dan tetap ikhlas di antara kalian, maka kalian akan memperoleh tiga kelebihan, yang tidak akan didapatkan oleh orang-orang yang kaya….!!”
            Kemudian beliau menjelaskan lebih lanjut, bahwa di surga itu terdapat ruang atau kamar yang terbuat dari yaqut merah. Para penghuni surga itu melihat kamar tersebut layaknya para penghuni dunia melihat bintang yang gemerlap di malam tanpa awan. Kamar tersebut dihuni oleh para nabi yang fakir, para syahidin (yang mati syahid) yang fakir, dan orang-orang mukmin yang fakir, itulah kelebihan yang pertama.
            Kelebihan kedua, orang-orang mukmin yang fakir akan mendahului orang-orang mukmin yang kaya selama setengah hari (akhirat), yang setara dengan 500 tahun perhitungan di dunia. Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman akan masuk surga 40 tahun setelah para nabi lainnya, karena Allah telah mengaruniakan kerajaan ketika di dunia.
            Kelebihan ketiga, jika kaum fuqara itu melafalkan dzikr ‘Subkhaanallah wal hamdu lillaah wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar’ ikhlas dari dalam hatinya, dan orang-orang kaya juga melakukannya, maka orang yang kaya itu tidak akan bisa mengejar keutamaan (pahala) yang diterima kaum fuqara’ itu, walaupun mereka menambahkan shadaqah sebanyak 10.000 dirham. Begitu juga dengan amal kebaikan lain yang dilakukan oleh kaum fuqara’ dengan ikhlas, dan diikuti oleh orang yang kaya.
            Utusan itu amat gembira dengan penjelasan beliau dan segera berpamitan pulang. Ketika tiba di antara kaum yang mengutusnya, dan menyampaikan sabda Nabi SAW itu, kaum fuqara’ itu berkata, “Ya Allah, kami merasa puas!! Ya Allah, kami merasa puas!!”

Senin, 19 Maret 2012

Ketika Nabi SAW dan Aisyah Berbeda Pendapat

            Rumah tangga Rasulullah SAW adalah teladan terbaik, walau kebanyakan hidup dalam kekurangan secara materi dengan sembilan istri, tetapi beliau bersabda, “Baitii jannatii!!” (Rumah tanggaku adalah surgaku!!).
            Namun dengan berbagai kelebihan itu, beliau masih manusia biasa, sehingga tidak jarang beliau ‘didebat’ oleh mereka, termasuk istri kecintaan beliau, al Khumaira, Aisyah binti Abu Bakar. Pernah terjadi suatu pembicaraan, yang Aisyah tidak bisa sepenuhnya menerima pendapat Rasulullah SAW. Aisyah memang seorang yang cerdas sehingga ia mampu membuat argumen untuk mendukung pendapatnya.
            Akan halnya Nabi SAW sendiri, ketika beliau menyampaikan suatu hal yang didasari suatu kebenaran, tidak mungkin beliau mengubahnya. Seperti yang disampaikan oleh Al Qur’an : Tidaklah dia (Muhammad SAW) itu berbicara dengan hawa nafsunya, sesungguhnya semua itu (didasari) oleh wahyu yang diturunkan kepadanya (Walaa yanthiqu ‘anil hawaa, in huwa illa wahyun yuukhaa).
Namun demikian, dengan kedudukannya sebagai Rasul Allah, dan juga sebagai suami, beliau tidak dengan semena-mena memaksakan pendapat yang sudah pasti benarnya itu. Justru beliau berkata kepada Aisyah, “Siapa yang akan  kauterima sebagai penengah (hakim) antara aku dan dirimu? Apakah engkau bisa menerima Abu Ubaidah bin Jarrah??”
Abu Ubaidah bin Jarrah memang digelari Rasulullah SAW sebagai ‘Orang Kepercayaan Umat ini’, karena sifatnya yang amanah dan dapat dipercaya oleh hampir semua orang, termasuk yang beragama lain. Tidak pernah berpijak kecuali di atas kebenaran. Tetapi mendengar usulan Rasulullah SAW ini, Aisyah berkata, “Tidak, ia adalah orang yang lemah lembut, ia pasti akan memenangkan perkaramu (pendapatmu)!!”
Nabi SAW berkata lagi, “Apakah engkau bisa menerima ayahmu sendiri?”
“Baiklah!!” Kata Aisyah dengan gembira.
Beliau memerintahkan salah seorang sahabat untuk memanggil Abu Bakar untuk datang ke rumah beliau. Ketika Abu Bakar telah tiba, beliau berkata kepada Aisyah, “Ceritakanlah!!”
Tetapi Aisyah berkata, “Engkau saja  yang bercerita!!”
Abu Bakar tampak tak mengerti melihat perilaku dua orang kesayangannya itu, yang satu adalah putrinya, satunya lagi adalah sahabat dan kecintaannya, sekaligus menantunya. Akhirnya Nabi SAW menjelaskan permasalahan yang terjadi secara mendetail. Mendengar penuturan beliau itu, tampak wajah Abu Bakar bersemu merah, antara marah dan malu. Dan tanpa dapat ditahan lagi, seolah-olah reflek, tangannya melayang menampar Aisyah sambil berkata, “Hai binti Ummi Ruman, pantaskah engkau mengatakan yang tidak benar kepada Rasulullah? Cukup sudah, siapa lagi yang benar kalau Rasulullah tidak benar??”
Aisyah sama sekali tidak menyangka dengan reaksi ayahnya yang terkenal lembut dan sangat menyayanginya. Ia menyangka, dengan ayahnya sebagai ‘hakim’, ia akan memperoleh perlindungan dalam perkaranya bersama Nabi SAW. Tetapi, bukanlah ash-Shiddiq namanya jika Abu Bakar tidak membenarkan Rasulullah. Bahkan dalam peristiwa yang sangat tidak masuk akal dan hanya semacam ‘bualan’ saja saat itu, yakni peristiwa Isra’Mi’raj Nabi SAW, Abu Bakar yang berdiri pertama kali membenarkan Nabi SAW, sementara banyak sekali kaum muslimin sendiri yang dihinggapi keragu-raguan.
Darah mengalir dari mulut dan hidung Aisyah akibat tamparan ayahnya tersebut, ia tampak sangat ketakutan. Nabi SAW segera menghampiri dan memeluknya, melindunginya dari kemarahan Abu Bakat lebih lanjut. Sambil mengisyaratkan agar pergi, beliau bersabda kepada Abu Bakar, “Kami tidak menginginkan hal ini darimu!!”
Nabi SAW membersihkan darah yang mengalir dari hidung dan bibir Aisyah, sekaligus yang mengotori bajunya sambil bersabda, “Tidakkah engkau lihat bagaimana aku telah menyelamatkanmu dari kemarahan ayahmu??”

Ketika Nabi SAW Bersujud Sangat Lama

            Suatu ketika sahabat Abdurrahman bin Auf masuk ke masjid, tidak lama kemudian ia melihat Nabi SAW keluar dari masjid, maka diam-diam ia mengikuti beliau. Beliau terus saja berjalan tanpa menyadari kalau diikuti oleh Ibnu Auf, sampai kemudian beliau memasuki sebuah kebun kurma milik seorang sahabat Anshar.
            Tidak berapa lama berada di kebun kurma tersebut, tiba-tiba Nabi SAW menghadap kiblat dan bersujud. Abdurrahman bin Auf yang berdiri tidak jauh di belakang beliau, menunggu dengan sabar sampai beliau bangkit kembali. Tetapi lama ditunggu-tunggu, Nabi SAW tidak juga bangkit dari sujud beliau, sehingga terlintas di pikiran Ibnu Auf, “Jangan-jangan Allah Yang Maha Agung dan Luhur telah mewafatkan beliau di tempat ini!!”
            Karena itu ia mendekati Nabi SAW, dan menunduk untuk melihat wajah beliau. Tetapi ia menjadi sangat kaget, karena tanpa disangkanya, ternyata Nabi SAW mengangkat wajah dan berkata, “Ada apa, hai Abdurrahman??”
            Setelah kekagetannya mereda, ia berkata, “Ya Rasulullah, ketika engkau bersujud begitu lama, aku khawatir kalau-kalau Allah telah mewafatkan engkau, karena itu aku datang untuk memeriksa!!”
            Nabi SAW tersenyum mendengar kekhawatirannya itu, kemudian beliau menceritakan bahwa Malaikat Jibril telah menemuinya ketika beliau memasuki kebun kurma itu. Dan Jibril berkata, “Wahai Nabiyallah, aku hanya ingin menyampaikan kabar gembira untuk engkau, sesungguhnya Allah SWT telah berfirman kepadamu : Barang siapa yang memberi salam kepadamu, maka Aku (Allah) akan memberi salam kepadanya, dan barang siapa yang membaca shalawat kepadamu, maka Aku (Allah) akan membaca/memberi shalawat untuknya!!”
            Tampak binar-binar kegembiraan di mata Rasulullah SAW ketika menceritakannya, dan beliau berkata kepada Ibnu Auf, “Mendengar pernyataan Jibril tersebut, hatiku sangat gembira dengan keutamaan dan karunia yang diberikan Allah kepada umatku. Dan aku bersujud untuk bersyukur dan berterima kasih, dan tak puas-puasnya aku bersyukur sehingga aku sujud begitu lama sampai engkau mendatangiku!!”

Senin, 12 Maret 2012

Tanda Kenabian Menjelang Kelahiran Nabi SAW (2) Ditemukannya Kembali Sumur Zam-zam

Selain tentara bergajah, peristiwa ajaib yang terjadi menjelang kelahiran Nabi SAW adalah ditemukan atau digalinya kembali Sumur Zam-zam. Sumur yang pertama kali ditemukan oleh Hajar dan Nabi Ismail yang saat itu masih bayi, sebenarnya terus memberikan airnya untuk penghidupan kepada penduduk Baitullah dan sekitarnya Tetapi setelah Nabi Ismail wafat, kemaksiatan dan kemusyrikan melingkupi Ka’bah dan Baitullah sehingga sumur Zam-zam berangsur mengering dan akhirnya menghilang sama sekali. Selama berabad-abad orang-orang mencoba mencari keberadaan sumur tersebut dan menggalinya, tetapi selalu saja mengalami kegagalan.   
            Beberapa waktu sebelum terjadinya peristiwa Tentara Bergajah, Abdul Muthalib bermimpi, ia didatangi suara ghaib yang memerintahkannya untuk mencari dan menggali kembali sumur Zam-zam, sekaligus menunjukkan tempatnya, yang memang tepat seperti ketika pertama kali ditemukan oleh Nabi Ismail. Padahal berabad-abad sebelumnya, banyak sekali yang berusaha menggali di tempat yang sama, tetapi tidak memperoleh hasil apa-apa.
            Abdul Muthalib segera melaksanakan perintah ghaib tersebut. Dalam penggalian itu Abdul Muthalib menemukan simpanan benda berharga milik Bani Jurhum, kabilah yang pertama kali tinggal dan menemani Nabi Ismail dan Hajar di Makkah, istri Nabi Ismail juga berasal dari kabilah itu. Benda-benda berupa beberapa pedang, baju besi dan dua pangkal pelana itu semuanya terbuat dari emas. Abdul Muthalib memasang pedang dan dua pangkal pelana itu pada pintu Ka’bah.
            Setelah melakukan penggalian beberapa hari lamanya, sumur Zam-zam itu akhirnya ditemukan kembali, dan airnya-pun sangat berlimpah. Tampaknya memang Allah menghendaki munculnya sumur Zam-zam itu kembali untuk dinikmati oleh kecintaan-Nya, Nabi Muhammad SAW yang tidak lama lagi akan dilahirkan, termasuk kaum kerabat beliau dan seluruh umat beliau hingga hari kiamat tiba.
            Sumur Zam-zam memang ajaib. Berbeda dengan sumur yang umumnya mempunyai mata air di bagian bawah sendiri, Zam-zam ini mata airnya di tengah. Dengan kedalaman 30 meter dari bibir sumur, mata air itu berada pada jarak 13 meter, dan memenuhi sumur sampai batas 4 meter dari bibir sumur. Ada dua mata air utama, pertama yang keluar dari suatu celah sepanjang 75 cm setinggi 30 cm yang mengarah pada Hajar Aswad, yang kedua celah sepanjang 70 cm setinggi 30 cm yang mengarah pada pengeras suara saat ini. Ada juga beberapa celah kecil yang mengalirkan air juga, yang mengarah pada bukit Shafa dan Marwa. Diameter  sumur juga berbeda-beda, berkisar antara 1,46 m hingga 2.66 m. Debit airnya antara 11 liter hingga 18,5 liter perdetik.
            Ketika sumur Zam-zam itu ditemukan kembali, beberapa kabilah Quraisy lainnya ingin campur tangan dalam pengelolaannya, mereka berkata, “Kami ingin bersekutu!!”
            Dengan tegas Abdul Muthalib berkata, “Tidak bisa, ini adalah urusan yang khusus ada di tanganku!!”
            Tetapi kabilah-kabilah itu agak memaksa, maka Abdul Muthalib berkata, “Baiklah, kita bawa masalah ini kepada dukun wanita dari Bani Sa’d. Aku tidak akan mau berbagi/bersekutu kecuali jika dia telah memutuskannya!!”
            Dukun wanita Bani Sa’d tersebut selama ini menjadi rujukan jika terjadi perselisihan di antara kaum Quraisy. Mereka mendatanginya dan menyerahkan urusan tersebut. Walaupun cukup lama menunggu, mereka dengan sabar tinggal di bani Sa’d tersebut, sampai akhirnya Allah menunjukkan kekuasaan-Nya, dukun wanita itu keluar dengan putusan bahwa hak pengelolaan sumur Zam-zam mutlak berada di tangan Abdul Muthalib.
            Abdul Muthalib sangat gembira dengan putusan tersebut, begitu gembiranya sehingga ia bernadzar, jika ia mempunyai sepuluh orang anak laki-laki, dan tidak akan mempunyai anak lainnya lagi setelah itu, ia akan mengorbankan (menyembelih) salah satunya di hadapan Ka’bah, sebagaimana Ibrahim telah menyembelih (mengorbankan) Ismail. Sesuatu yang berlebih-lebihan memang tidak baik, begitu juga dengan kegembiraan. Hal itulah yang dialami oleh Abdul Muthalib, kegembiraan menemukan kembali sumur Zam-zam, ditambah lagi kegembiraan karena memperoleh hak mutlak mengelola sumur tersebut, membuat akal sehatnya tertutup untuk sementara waktu sehingga muncul nadzar seperti itu.
Setelah beberapa hari berlalu dan kegembiraannya mulai mereda, ia teringat akan nadzar yang diucapkannya di depan dukun wanita Bani Sa’d itu. Dan ia mulai menyadari bahwa dari 16 orang anaknya, sepuluh orang di antaranya adalah laki-laki, hanya saja ia belum tahu, apakah di antara istri-istrinya masih akan melahirkan lagi? Ia memerintahkah seorang yang ahli untuk memeriksa keadaan istri-istrinya, dan sang ahli menyatakan bahwa mereka tidak akan bisa mempunyai anak lagi.
Abdul Muthalib mengumpulkan anak laki-lakinya, dan menceritakan nadzar yang telah diucapkannya. Ternyata mereka semua patuh dengan kehendaknya tersebut, siapapun yang harus dikorbankan. Ia menulis ke sepuluh nama anaknya tersebut dan kemudiannya mengundinya. Ternyata nama yang keluar adalah Abdullah, anak yang paling disayanginya dan ayahanda Rasulullah SAW itu dengan ikhlas menerima keputusan tersebut, sebagaimana ikhlasnya Nabi Ismail ketika akan disembelih oleh Nabi Ibrahim.
Abdul Muthalib menuntun anaknya itu menuju Ka’bah sambil membawa parang. Kaum Quraisy yang menyaksikan pemandangan tersebut sejak awal merasa trenyuh, apalagi Abdullah juga yang paling mereka sayangi di antara anak-anak Abdul Muthalib lainnya. Mereka kemudian mencegah niat Abdul Muthalib dengan keras, terutama Abu Thalib dan paman-pamannya dari pihak ibu yang berasal dari Bani Makhzum. Abdul Muthalib yang pada dasarnya memang tidak tega untuk melaksanakan nadzarnya itu berkata, “Bagaimana dengan nadzarku?”
Mereka menyarankan untuk meminta pendapat dukun wanita Bani Sa’d untuk memberikan solusinya, sebagaimana biasanya. Wanita itu memerintahkan agar Abdul Muthalib menyembelih sepuluh ekot unta sebagai diyat, tebusan pembunuhan yang berlaku saat itu. Setelah itu ia harus melakukan pengundian kembali nama Abdullah dengan sepuluh unta. Jika nama Abdullah yang keluar, ia harus menambah lagi sepuluh ekor unta lagi sebagai diyat, dan mengundinya lagi. Begitu seterusnya hingga yang keluar nama unta, dan saat itulah kafarat dari nadzarnya yang diridhoi Tuhan.
Abdul Muthalib melaksanakan saran wanita tersebut, dan ternyata setelah seratus ekor unta, barulah nama Abdullah tidak keluar lagi. Sejak saat itu ketetapan diyat untuk pembunuhan ditetapkan oleh orang-orang Arab sebanyak seratus ekor unta. Dan aturan diyat pembunuhan adalah seratus ekor unta diteruskan oleh Nabi SAW dalam syariat Islam. Karena peristiwa tersebut, Nabi SAW pernah bersabda, “Aku adalah anak dari dua orang yang (akan) disembelih.”
Maksudnya adalah Nabi Ismail yang akan disembelih oleh Nabi Ibrahim, dan Abdullah yang akan disembelih oleh Abdul Muthalib.

Tanda Kenabian Menjelang Kelahiran Nabi SAW (1) Pasukan Bergajah

Sebagai nabi akhir jaman dan penutup semua kenabian, sekaligus kecintaan Allah SWT, sejak masa menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW telah muncul beberapa peristiwa luar biasa yang menunjukkan nubuwwah (bukti-bukti kenabian) beliau. Kejadian yang paling terkenal dan diabadikan di dalam Al Qur’an dalam Surat Al-Fiil  adalah peristiwa Pasukan Bergajah, bahkan dalam sejarah Islam, tahun kelahiran beliau, yakni tahun 570 atau 571 Masehi dikenal dengan nama Tahun Gajah. Ada perbedaan pendapat tentang tepatnya peristiwa itu terjadi, sebagian menyatakan beberapa hari sebelum beliau dilahirkan, sebagian lagi beberapa bulan, bahkan ada yang menyatakan beberapa tahun.
            Peristiwa tersebut berawal dari kecemburuan penguasa Yaman yang beragama Nashrani terhadap “popularitas” Baitullah dan Ka’bah di Makkah. Telah ratusan tahun orang-orang di Jazirah Arabia melakukan ritual (ibadah haji) mengunjungi atau ziarah ke Baitul Athiq (Rumah Tua, yakni Ka’bah) tersebut, termasuk yang berasal dari Yaman. Penguasa atau Gubernur Yaman yang bernama Abrahah ash Shabbah al Habsyi itu berkeinginan agar mereka mengalihkan kebiasaannya tersebut ke Kota Shan’a, ibukota Yaman. Karena itu membangun sebuah gereja yang amat besar dan menghiasinya dengan seindah-indahnya.
            Setelah gereja yang begitu megah, indah dan mengagumkan itu selesai dibangun, Abrahah mengirimkan pengumuman ke seluruh penjuru Arabia. Ia memerintahkan agar para kabilah itu “mengalihkan” ritual ibadah hajinya kepada gerejanya yang diberi nama Qalis tersebut. Para pemimpin kabilah itu amat marah dengan “pemaksaan” yang dilakukan Abrahah. Seseorang dari Bani Kinanah mendatangi Gereja Qalis tersebut, dan pada suatu malam ia memasukinya dan melumurkan kotoran ke pusat (kiblat)nya gereja tersebut. Riwayat lainnya menyebutkan, dua orang pemuka dari Bani Fuqaim dan Bani Malik yang mendatangi dan mengotori gereja Qalis, sedangkan utusan  Abrahah yang dikirim ke Bani Kinanah tewas tertembus panah dari orang tidak dikenal.
            Melihat keinginannya tidak tercapai, ditambah lagi pengotoran Qalis dan pembunuhan pada utusannya, Abrahah memuncak kemarahannya. Tetapi ia menyadari bahwa tidak mungkin menyerang dan menaklukkan semua kabilah yang menyebar seantero Jazirah Arabia itu, yang di antara mereka dipisahkan bermil-mil padang pasir. Dalam pemikirannya, kalau Baitullah dan Ka’bah telah hilang, maka akan mudah menggiring masyarakat Arab untuk mendatangi Qalis di Shan’a, karena itu ia memutuskan untuk menyerang dan menghancurkan Ka’bah di Makkah tersebut.
            Abrahah menghimpun pasukan yang sangat besar untuk merealisasikan maksudnya, yakni hingga enampuluh ribu prajurit. Para komandan pasukan berkendaraan gajah, ada tigabelas ekor (atau sembilan ekor pada riwayat lainnya) gajah di antara tunggangan lainnya, dan  Abrahah menunggangi gajah yang terbesar. Beberapa kabilah sempat melakukan perlawanan untuk membatalkan maksud Abrahah, tetapi dengan mudah mereka dapat dikalahkan. Sepanjang perjalanan ke Makkah mereka juga menjarah harta dan ternak para kabilah yang dilaluinya, termasuk duaratus ekor unta milik Abdul Muthalib.
            Pasukan bergajah tersebut beristirahat di luar kota Makkah, dan Abrahah mengirim utusan untuk menemui sayyid (sesepuh) kota Makkah yang juga kepada suku Quraisy, yang tak lain adalah kakek Nabi Muhammad SAW, Abdul Muthalib. Utusan tersebut berkata kepada Abdul Muthalib, “Raja Abrahah berpesan bahwa dia tidak bermaksud memerangi bangsa Quraisy, tetapi hanya bermaksud meruntuhkan Ka’bah. Jika tuan dan bangsa tuan tidak menghalangi, tidak akan terjadi pertumpahan darah. Dan Raja berharap tuan bersedia menemuinya!!”
            Abdul Muthalib berkata, “Demi Allah, kami tidak mempunyai kekuatan untuk memerangi tentara rajamu. Dan aku memang bermaksud untuk menemuinya!!”
            Maka mereka berdua segera menghadap Abrahah di perkemahannya, dan Abdul Muthalib diperlakukan dengan penuh kehormatan. Abdul Muthalib berkata, “Wahai raja Abrahah, tolong dikembalikan duaratus ekor unta milik saya yang telah engkau ambil dari penggembala saya…!!”
            Abrahah memandangnya penuh keheranan, dan berkata, “Kami datang untuk meruntuhkan Ka’bah, tetapi engkau hanya membicarakan unta-unta milikmu itu? Bagaimana dengan agama dan Ka’bah yang selama ini kalian puja-puja? ”
            “Saya hanya tuannya unta-unta itu. Sedangkan Ka’bah mempunyai Tuannya sendiri yang akan memeliharanya!!” Kata Abdul Muthalib.
            Abrahah menegaskan, “Jadi engkau tidak akan menghalangi kami?”
            “Sama sekali tidak!! Hanya saja berilah kami sedikit waktu untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Ka’bah sebelum engkau menghancurkannya!!”
            Abrahah sangat gembira dengan jawaban tersebut, dan memerintahkan pasukannya untuk mengembalikan duaratus unta milik Abdul Muthalib tersebut. Kemudian Abdul Muthalib dan beberapa pemuka Quraisy menghampiri Ka’bah, berdoa kepada Allah untuk memelihara Ka’bah dari pasukan Abrahah. Dan sebelum mereka pergi ke tempat perlindungan di bukit-bukit sekeliling Makkah, sebagaimana penduduk lainnya, masing-masing dari mereka mencium Ka’bah dengan air mata bercucuran penuh kesedihan sebagai salam perpisahan.
            Abrahah menggerakkan pasukannya memasuki kota Makkah yang telah kosong layaknya kota mati. Ia berjalan dengan pongahnya seolah-olah kemenangan telah berada di genggamannya. Ketika tiba di Wadi Mahsar yang berada di antara Mina dan Muzdalifah, gajah-gajah tersebut tiba-tiba menderum (duduk) dan tidak mau bergerak maju, begitu juga dengan tunggangan-tunggangan lainnya. Tetapi jika diarahkan ke tempat lain menjauhi Ka’bah, binatang itu segera bergerak cepat seolah-olah ingin melarikan diri. Jika diarahkan kembali menuju Ka’bah, tiba-tiba mereka menderum dan tidak mau atau tidak bisa bergerak maju.
            Ketika Nabi SAW dan kaum muslimin ingin melakukan umrah yang kemudian berakhir dengan Perjanjian Hudaibiyah, Unta Nabi SAW yang bernama Al Qashwa tiba-tiba menderum ketika tiba di Tsaniyyatul Murar. Mereka beranggapan mungkin unta itu lelah dan perlu beristirahat sebentar. Tetapi setelah cukup istirahat dan diberdirikan lagi untuk meneruskan perjalanan ke Makkah, Al Qashwa menderum lagi. Maka Nabi SAW bersabda, “Tidaklah al Qashwa itu menderum atas kemauannya sendiri, sesungguhnya ia ditahan oleh (malaikat) yang dahulu menahan pasukan bergajah Abrahah…!!”
            Dalam keadaan seperti itu, dimana Abrahah tidak mampu menggerakkan pasukannya, tiba-tiba Allah mendatangkan ribuan burung Ababil di atas mereka. Burung-burung yang menyerupai burung Khathathif dan Balsan itu, masing-masing membawa tiga batu sebesar kacang kedelai dari tanah yang sangat panas, dua di cengkeraman kaki dan satu di paruhnya. Batu-batu itu dijatuhkan ke tentara Abrahah dan tepat mengenai satu persatu dari mereka. Ada riwayat yang menyebutkan, pada masing-masing batu itu tertulis nama-nama dari tentara Abrahah, sehingga tidak satupun yang lolos. Sebagian besar langsung mati di tempat, tetapi ada juga yang bisa melarikan diri dalam keadaan luka dan mengidap penyakit, hanya saja akhirnya mati juga secara mengenaskan, termasuk di antaranya Abrahah sendiri. Ia mati ketika tiba di Shan’a. Al Qur’an menggambarkan keadaan tentara bergajah itu dengan “laksana daun-daun yang dimakan ulat!!”