Rabu, 19 September 2012

Ketika Nabi SAW Menganjurkan Menikah

          Suatu ketika seorang sahabat bernama Akkaf bin Wada’ah datang menghadap Nabi SAW, beliau langsung berkata, “Wahai Akkaf, apakah engkau tidak beristri??”
            Akkaf berkata, “Tidak, ya Rasulullah!!”
            Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau memiliki seorang budak wanita??”
            Akkaf berkata lagi, “Tidak juga, ya Rasulullah!!”
            Tradisi masa itu, yang juga diakui oleh syariat Islam, seorang budak atau sahaya wanita boleh ‘dipergauli’ oleh tuannya. Jika ia melahirkan seorang anak, maka anaknya dinisbahkan kepada tuannya, yakni menjadi anak tuannya dan menjadi orang merdeka. Budak atau sahaya berbeda dengan pembantu atau pekerja. Hukum yang berlaku saat itu, budak lebih merupakan ‘barang milik’, dan ia tidak memperoleh gaji atau pembayaran dari pekerjaan yang dilakukan atas perintah tuannya. Tetapi segala kebutuhan hidupnya menjadi tanggung jawab tuannya.
            Nabi SAW menatap Akkaf dengan keheranan, kemudian bersabda, “Bukankah engkau sehat afiat (maksudnya normal secara seksual) dan kaya??”
            Ia berkata, “Benar, ya Rasulullah, alhamdulillah!!”
            Maka dengan tegas Nabi SAW bersabda, “Jika memang demikian, engkau dari kawannya syaitan. Jika engkau seorang Nashrani, ikutilah jejak para pendeta mereka. Tetapi jika engkau dari golongan kami (yakni seorang muslim) maka berbuatlah seperti kami, dan sebagian dari sunnahku adalah menikah. Orang yang sangat jelek adalah orang yang tidak beristri, orang mati yang sangat hina adalah orang yang tidak beristri… Celakalah engkau, wahai Akkaf!! Menikahlah segera!!”
            Mendengar ‘teguran’ yang begitu kerasnya, Akkaf langsung berkata, “Wahai Rasulullah, nikahkanlah saya dengan siapapun yang engkau kehendaki!! Saya tidak akan menikah kecuali engkau yang menikahkan saya!!”
            Nabi SAW tersenyum gembira dengan tanggapannya yang begitu cepat atas anjuran beliau tersebut, dan bersabda, “Aku akan menikahkan engkau atas nama Allah dan berkah-Nya, dengan Karimah binti Kultsum al Himyari..!!”
            Akkaf menerima dengan senang hati, dan Nabi SAW menjabat tangannya mengucap ijab kabul pernikahannya, dengan disaksikan beberapa sahabat yang hadir.
            Sehubungan dengan menikah ini, Nabi SAW pernah bersabda, “Barang siapa mendapat seorang anak, hendaklah ia membaguskan namanya dan pendidikannya. Dan jika telah mencapai usia baligh, hendaklah ia menikahkannya. Jika anak itu telah menjadi dewasa dan ia tidak dinikahkan, kemudian ia berbuat dosa (yakni berzina), maka sebagian dari dosa (zina) itu ditanggung oleh ayahnya!!”
            Nabi SAW juga pernah berkomentar tentang keengganan kaum wanita untuk menikah karena tidak mau direpotkan dengan kehamilan dan mengurus anak-anaknya. Beliau bersabda, “Apakah seorang wanita tidak rela (senang), jika ia sedang hamil dan suaminya ridha dengannya, maka ia mendapat pahala seperti orang yang berpuasa dan bangun malam (yakni shalat tahajud) di jalan Allah (fii sabilillah). Kemudian jika ia melahirkan, maka tidaklah penduduk langit dan bumi mengetahui (betapa besarnya pahala) yang disediakan oleh Allah untuknya, sesuatu yang sangat memuaskan pandangan matanya. Setelah melahirkan dan mengeluarkan air susu, kemudian ia menyusui anaknya, maka untuk setiap teguk atau isapan itu ia memperoleh satu hasanat (kebaikan). Jika ia bangun malam karena anaknya (menangis atau lainnya), maka ia mendapat pahala seperti orang yang memerdekakan tujuhpuluh orang budak di jalan Allah (fii sabilillah)!!”

Tamu Nabi SAW Memberikan Pengajaran

Suatu ketika Nabi SAW tengah berkumpul dengan para sahabat, tiba-tiba datang seorang lelaki yang berwajah putih dan tampan, rambutnya sangat indah dan berpakaian serba putih. Sepintas wajah tamu itu mirip sahabat Nabi SAW, Dihyah al Kalbi RA, tetapi tidak seorang sahabatpun yang mengenalnya, dan tidak juga tampak kalau dia itu  seseorang yang baru saja bepergian jauh, yakni seorang musafir. Ia langsung duduk di hadapan Nabi SAW dan berkata, “Assalamu’alaika, ya Rasulullah, apakah dunia itu??”
Setelah menjawab salamnya, Nabi SAW bersabda, “Bagaikan impian dari orang yang sedang tidur!!”
Lelaki itu berkata lagi, “Bagaimana dengan akhirat?”
Beliau bersabda, “Segolongan di surga, dan segolongan lainnya di neraka!!”
Dia bertanya lagi, “Apakah surga itu??”
Nabi SAW bersabda, “Sebagai pengganti dunia bagi orang yang meninggalkannya. Karena harga surga adalah dengan meninggalkan dunia!!”
Dia bertanya lagi, “Apakah neraka itu??”
Beliau bersabda, “Sebagai pengganti dunia bagi orang yang mencarinya!!”
Tentunya maksud Nabi SAW adalah bagi orang yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mencari dan mengumpulkan dunia, hingga melalaikan amal ibadahnya. Sedang bagi mereka yang mencari dunia untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tanpa melalaikan akhiratnya, dan dalam mencari dunia tersebut tidak melanggar syariat Islam, maka kesibukannya mencari dunia yang sekedarnya itu juga menjadi ibadah baginya.
Tamu Nabi SAW itu berkata lagi, “Siapakah yang terbaik di antara umat ini (selama di dunia)??”
Beliau bersabda, “Orang yang selalu melakukan ketaatan kepada Allah!!”
Dia bertanya lagi, “Bagaimana keadaan orang yang melaksanakan ketaatan itu?”
Nabi SAW bersabda, “Yakni, seperti semangatnya seorang musafir (yang tertinggal atau tersesat) yang mencari kafilahnya!!”
Lelaki itu bertanya lagi, “Berapa lama ia tinggal di sana??”
Beliau bersabda, “Menurut kadar orang yang tertinggal kafilahnya (yakni, sebentar saja)!!”
Dia bertanya lagi, “Berapakah lamanya antara dunia dan akhirat??”
Nabi SAW bersabda, “Hanya sekejab mata!!”
Setelah mendengar jawaban Nabi SAW yang terakhir itu, ia berpamitan dan berlalu pergi. Beberapa sahabat mencoba mencari tahu ke arah mana lelaki itu pergi, tetapi mereka tidak bisa menemukannya. Kemudian Nabi SAW bersabda, “Lelaki itu tadi adalah Malaikat Jibril, ia sengaja datang di antara kalian untuk mengajarkan agar kalian bersikap zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat!!”

Minggu, 02 September 2012

Ketika Shalat Tidak Khusyu’

            Suatu ketika Nabi SAW sedang berkumpul dengan para sahabat dalam sebuah majelis pengajaran, tiba-tiba datanglah seorang Badui (orang Arab pedalaman/pedesaan) sambil mengucap salam, “Assalamu’alaika ya Rasulullah, wa ‘alaikum ya jamii’al juluus!!”
            Kemudian ia meminta ijin untuk menanyakan sesuatu. Setelah dijawab salamnya dan diijinkan, ia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah telah mewajibkan kepada kita shalat lima waktu, tetapi pada saat yang sama, Allah menguji kita dengan dunia beserta hal ikhwalnya?? Maka, demi hakmu, ya Rasulullah, tidaklah kami mengerjakan satu rakaat-pun kecuali segala kesibukan dunia seringkali masuk di dalamnya. Lalu, bagaimana mungkin Allah menerimanya sedangkan shalat itu bercampur dengan kesibukan dunia??”
            Pertanyaan yang diajukan oleh orang Badui itu, bisa jadi mewakili keadaan sebagian besar kaum muslimin yang berada jauh dari ‘lingkaran’ Rasulullah SAW, bukan dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar. Mungkin termasuk kita semua yang berada sangat jauh dari ‘lingkaran waktu’ kehidupan Nabi SAW.
Nabi SAW hanya tersenyum bijak mendengar pertanyaan itu. Tetapi belum sempat beliau berkomentar, Ali bin Abi Thalib, yang hadir sekaligus meriwayatkan kisah ini, berkata, “Shalat seperti itu tidak akan diterima Allah SWT, dan Allah tidak akan memandang shalat seperti itu!!”
Mendengar perkataannya itu, Nabi SAW berkata kepada Ali, “Wahai Ali, apakah kamu mampu mengerjakan shalat dua rakaat karena Allah semata, tanpa terganggu dengan segala kesusahan, kesibukan dan bisikan-bisikan??”
Ali berkata, “Saya mampu melakukannya, ya Rasulullah!!”
Tentu saja Nabi SAW sebenarnya mengetahui bahwa Ali dan sahabat-sahabat terdekat dalam lingkaran kehidupan beliau, baik kaum Muhajirin ataupun Anshar, bisa melakukan shalat seperti itu, yakni shalat yang khusyu’ hanya karena Allah. Dan hal itu bisa dimaklumi karena para sahabat itu langsung dalam didikan dan pengawasan Rasulullah SAW. Sehari-harinya mereka melihat dan mengikuti contoh nyata dari beliau, tidak sekedar dalam perbuatan, terlebih dalam (pengaruh) ‘aura’ akhlaqul karimah Nabi SAW.
Tetapi karena Islam dan Rasulullah SAW adalah rahmatan lil ‘alamin, tidak hanya sekedar untuk para sahabat tersebut, beliau ingin memberikan pelajaran yang berharga, untuk tidak membuat orang Badui itu, atau umat Islam pada ‘lingkaran’ yang jauh dari beliau, termasuk kita semua tidak berputus asa dari rahmat Allah. Begitu mendengar kesanggupan Ali, yang sebenarnya Nabi SAW tidak menyangsikan dirinya atau sahabat lainnya bisa melakukannya, maka beliau ‘menambahkan’ sedikit gangguan duniawiah. Nabi SAW bersabda, “Wahai Ali, jika engkau mampu melakukannya, aku akan memberikan kepadamu pakaianku yang buatan Syam!!”
Dalam riwayat lainnya, “… aku akan memberikan surbanku kepadamu, engkau bisa memilihnya, yang buatan Syam atau buatan Yaman!!”
Ali bin Abi Thalib bangkit untuk berwudhu secara sempurna, kemudian berdiri melakukan shalat dua rakaat seperti yang disanggupinya kepada Nabi SAW. Semua yang hadir, termasuk sang Badui itu, hampir yakin bahwa Ali akan memperoleh hadiah yang dijanjikan Nabi SAW, karena mereka melihat (dengan mata lahiriah semata tentunya) begitu sempurnanya shalat yang dilakukannya, begitu khusyu, khudur dan tawadhu’ tampaknya.
Usai shalatnya Ali, Nabi SAW bersabda, “Wahai Abul Hasan dan Husein, bagaimana pendapatmu!!”
Ali berkata, “Demi kebenaranmu, ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah melakukannya pada rakaat pertama tanpa sedikitpun diganggu oleh kesibukan, kesusahan dan bisikan apapun. Tetapi ketika berada pada rakaat kedua, saya teringat akan janji engkau, dan saya membatin : Seandainya Nabi SAW memberikan pakaian Quthwani tentulah lebih baik daripada pakaian Syam itu (atau dalam riwayat lain : Surban Syam atau surban Yaman ya yang lebih baik??). Demi hakmu, ya Rasulullah, tidak ada seorang-pun yang dapat mengerjakan shalat dua rakaat dengan benar-benar murni karena Allah SWT semata-mata, dan ingatannya selalu terfokus hanya kepada Allah SWT!!”
Nabi SAW tersenyum dan bersabda kepada semua yang hadir, “Kerjakanlah shalat fardhumu dan janganlah kamu berbicara dalam shalatmu, karena sesungguhnya Allah tidak menerima shalat yang dicampur-adukkan dengan kesibukan-kesibukan dunia. Tetapi (tetaplah) engkau laksanakan shalatmu, dan mohonlah ampunan kepada Tuhanmu setelah selesai shalat. Aku berikan kabar gembira kepada kalian semua, bahwa Allah telah menciptakan seratus rahmat yang disebarkan pada umatku pada hari kiamat. Tidak seorangpun dari umatku,  baik laki-laki atau perempuan, yang mengerjakan shalat fardhu kecuali ia akan berdiri di bawah naungan shalatnya itu pada (terik panasnya) hari kiamat!!”
Pada riwayat lain, Nabi SAW menjelaskan bahwa dari seratus rahmat tersebut, satu rahmat diturunkan ke bumi, yang dengan satu rahmat itu, Allah memberikan karunia, rezeki dan kasih sayang kepada seluruh alam, sejak bumi diciptakan hingga hari kiamat tiba. Tidak terkecuali untuk orang-orang kafir dan ingkar dengan kekayaan tidak terukur (dalam ukuran duniawiah) seperti Qarun, atau para konglomerat di masa sekarang ini. Bahkan dengan satu rahmat ini, Allah ‘mencegah’ binatang-binatang buas seperti harimau, singa, serigala dan lain-lainnya memakan anak-anaknya sendiri. Pada hari kiamat kelak, satu rahmat itu diangkat kembali dan disatukan ke induknya seratus rahmat, dan disebarkan kepada kaum yang beriman dari seluruh umat, yang mayoritas adalah umat Nabi Muhammad SAW, khususnya yang mengerjakan shalat, seperti yang dikisahkan di atas, walau mungkin tidak bisa sepenuhnya khusyu’ dalam shalatnya. Wallahu A’lam.

Sikap Nabi SAW pada yang Awam

            Suatu ketika ada seorang Badui pedalaman datang kepada Nabi SAW untuk meminta sesuatu. Nabi SAW memenuhi (memberikan) apa yang dimintanya, kemudian bersabda, “Apakah aku sudah berbuat baik kepadamu??”
            Di luar dugaan, orang Badui itu berkata, “Belum, engkau belum berbuat baik!!”
            Para sahabat yang berkumpul di sekitar beliau terkejut dan marah dengan jawaban si Badui itu, bahkan ada yang berkata (sebagian riwayat menyebutkan adalah Umar bin Khaththab), “Ya Rasulullah, serahkanlah orang ini kepadaku, biarkan saya membunuhnya!!”
            Nabi SAW mencegah para sahabat untuk berbuat sesuatu yang mencelakakan si Badui. Beliau mengajaknya ke dalam rumah dan mengambil sesuatu untuk diberikan sebagai tambahan, lalu bersabda lagi, “Apakah aku sudah berbuat baik kepadamu??”
            Si Badui berkata, “Benar, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, juga kepada semua keluargamu!!”
            Dalam riwayat lain disebutkan, si Badui berkata seperti itu setelah Nabi SAW memberikan sesuatu untuk ke tiga kalinya.
            Nabi SAW sangat senang dengan jawabannya tersebut dan bersabda, “Engkau tadi mengatakan sesuatu yang membuat para sahabatku marah. Jika engkau mau mengatakan perkataanmu (yang terakhir itu) sekali lagi di hadapan mereka, tentulah hal itu bisa menghilangkan kemarahan mereka kepadamu, dan hal itu sangat baik sekali!!”
            “Baiklah,“ Kata si Badui.
            Nabi SAW membawa si Badui itu kepada para sahabat yang masih berkumpul dan bersabda, “Orang desa ini mengatakan sesuatu sebagaimana yang telah kalian dengar. Lalu aku memberikan tambahan pemberian, dan ia merasa puas, bukankah demikian wahai orang desa??”
            Si Badui berkata, “Benar, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, juga kepada semua keluargamu!!”
            Tampak para sahabat menjadi gembira, dan kemarahan mereka kepada si Badui seketika hilang. Wajah Nabi SAW tampak bersinar, pertanda beliau sangat gembira melihat reaksi para sahabat tersebut. Kemudian beliau bersabda, “Aku dan orang desa ini ibarat seseorang dengan untanya yang berontak dan lari…”
Kemudian Nabi SAW meneruskan penjelasannya, bahwa pada umumnya orang-orang akan berlari mengejarnya untuk menangkapnya. Tetapi hal itu hanya membuat untanya berlari makin jauh. Pemilik unta itu akan berkata kepada orang-orang, “Biarkan unta itu, aku lebih tahu dan lebih dapat bersikap lemah lembut kepadanya!!”
Setelah itu sang pemilik akan berjalan ke tempat untanya dan mengambil sejumlah sampah dari tanah. Ia akan melambai-lambaikan sampah itu sambil memanggil sang unta, maka perlahan-lahan unta itu akan datang mendekat dan tenang kembali. Maka dengan mudah ia akan bisa mengikatnya kembali.
Nabi SAW bersabda lagi, “Jika aku membiarkan kalian dengan perkataan orang desa ini yang pertama, niscaya kalian akan membunuhnya dan ia pasti akan masuk neraka!!”