Senin, 27 Mei 2013

Perjalanan Hijrah Nabi SAW ke Madinah

Berbagai Peristiwa Sebelum Hijrah
            Peristiwa hijrah Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya ke Madinah merupakan salah satu tonggak sejarah yang penting dalam pertumbuhan Islam. Walaupun bukan peristiwa hijrah yang pertama, tetapi hijrah tersebut merupakan titik balik kebangkitan Islam, sekaligus menjadi dasar pijakan berdirinya negara Islam yang pertama. Pada masa khalifah Umar bin Khaththab, para sahabat bermusyawarah untuk membuat penanggalan yang mencirikan keislaman. Tahun Islamiah yang diusulkan oleh sahabat Amr bin Ash ini memicu perbedaan pendapat tentang kapan dimulainya? Sebagian sahabat mengusulkan saat kelahiran Nabi SAW, yang lainnya mengusulkan saat diangkatnya beliau menjadi Rasul, saat hijrah ke Habasyah, saat Fathul Makkah dan berbagai peristiwa lainnya. Tetapi pada akhirnya mereka sepakat menetapkan hijrah ke Madinah sebagai penetapan awal tahun Islamiah, dan disebut sebagai Tahun Hijriah.
Selama tigabelas tahun berdakwah di Makkah, sambutan masyarakat di tempat kelahiran Nabi SAW itu lebih banyak merupakan tantangan dan perlawanan, penolakan dan ejekan, bahkan tidak jarang berupa siksaan untuk mengembalikan kaum muslimin ke agama jahiliahnya, penyembahan berhala. Tetapi dalam sepuluh tahun Nabi SAW berdakwah dari Madinah, Islam berkembang begitu pesatnya. Hampir seluruh jazirah Arabia tunduk pada ‘pemerintahan’ Islam di Madinah, termasuk Makkah. Bahkan menjangkau sebagian wilayah Romawi dan Persia yang merupakan dua kutub kekuatan di barat dan timur saat itu.
Peristiwa yang bisa dianggap menjadi cikal bakal hijrah Madinah, terjadi pada musim haji, bulan Dzulhijjah tahun ke sebelas dari kenabian, sebelum terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj. Seperti biasanya, setelah selesainya ritual ibadah haji (tentunya dengan cara jahiliah), Nabi SAW akan berkeliling mengunjungi kabilah demi kabilah yang datang dari berbagai penjuru jazirah Arabia, untuk mendakwahkan Risalah Islamiah. Suatu malam Nabi SAW mengunjungi Aqabah di Mina bersama Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, dan melihat ada enam pemuda tengah berbincang santai. Beliau menghampiri mereka dan meminta ijin untuk bergabung. Setelah diijinkan dan duduk bersama mereka, beliau berkata, “Siapakah kalian ini??”
Salah seorang dari mereka berkata, “Kami orang-orang dari Khazraj!!”
Khazraj adalah salah satu suku besar dari Kota Yatsrib, nama jahiliah dari Madinah. Ke enam pemuda itu adalah Asad bin Zurarah dan Auf bin Harits al Afra dari Kabilah Bani Najjar, Rafi bin Malik dari Bani Zuraiq, Quthbah bin Amir dari Bani Salamah, Uqbah bin Amir dari Bani Ubaid bin Ka’b, dan Jabir bin Abdullah bin Ri’ab dari Bani Ubaid bin Ghanm.
Nabi SAW bersabda, “Sekutu dari orang-orang Yahudi??”
“Benar!!” Kata mereka.
Beliau berkata lagi, “Bolehkan aku memperbincangkan sesuatu dengan kalian??”
“Baiklah, “ Kata mereka lagi.
Kemudian Nabi SAW menceritakan tentang kenabian beliau dan seluk-beluk risalah Islam dengan lengkap. Usai beliau bercerita, ke enam orang tersebut saling berpandangan, kemudian salah satunya berkata, “Demi Allah, kalian semua mengetahui bahwa dia (yakni Rasulullah SAW) benar-benar seorang nabi, yang ciri-cirinya sering disebut-sebut oleh orang-orang Yahudi. Karena itu jangan sampai mereka mendahului kalian, dan marilah kita mengikuti seruannya memeluk Islam!!”
Memang, dalam pergaulannya dengan orang-orang Yahudi di Yatsrib selama ini, telah santer terdengar berita kalau mereka tengah menunggu kehadiran seorang nabi yang muncul pada masa itu, dan menyebutkan ciri-cirinya. Bahkan orang-orang Yahudi itu, yang termasuk minoritas dan lemah dibanding penduduk asli Yatsrib, sering membangga-banggakan kalau telah mengikuti nabi tersebut, mereka akan menjadi kuat dan mampu memerangi Khazraj dan Aus serta menghancur-leburkannya, sebagaimana di masa lalu kaum Ad dan Iram dihancurleburkan dengan pertolongan Allah.
Mereka berenam, para pemuda yang cerdas dan berwawasan ke depan, tampaknya sependapat tentang kebenaran kenabian Rasulullah SAW itu. Apalagi dengan penjelasan beliau tentang Risalah Islamiah, mereka berharapan besar akan bisa menyatukan dua suku, Khazraj dan Aus, yang telah terlibat perang saudara selama bertahun-tahun lamanya, dan kebenaran yang disampaikan Nabi SAW akan bisa melenyapkan permusuhan yang telah berlarut-larut rasanya. Merekapun memutuskan untuk memeluk Islam.
Satu persatu mereka menjabat tangan Rasulullah SAW dan berba’iat memeluk Islam. Setelah keislamannya, Auf berkata, “Kami tidak akan membiarkan kaum kami (yakni Khazraj) dan kaum lainnya (yakni Aus) terus-menerus bermusuhan dan berbuat jahat. Semoga Allah akan menyatukan mereka dengan kehadiran engkau. Sepulangnya nanti, kami akan mengajak mereka untuk memeluk agama engkau, dan jika mereka bisa bersatu, maka sungguh tidak ada yang lebih mulia di mata kami kecuali engkau!!”
Nabi SAW sangat gembira dengan niat Auf dan kawan-kawannya untuk mendakwahkan Islam kepada orang-orang Yatsrib, dan beliau mendoakan mereka dengan kebaikan. Dan ternyata benar, seruan mereka memperoleh sambutan luar biasa dari kaumnya termasuk dari ‘musuhnya’, kaum Aus. Segera saja nama Nabi Muhammad SAW menjadi ‘buah bibir’ di masyarakat Yatsrib dan banyak sekali yang memeluk Islam.
Pada tahun haji berikutnya, yakni tahun ke duabelas dari kenabian, lima dari enam pemuda tersebut, kecuali Jabir bin Abdullah, berikut tujuh orang tokoh-tokoh dari berbagai kabilah lainnya termasuk dari suku Aus datang ke Makkah. Mereka bertemu dan menghadap Nabi SAW di Aqabah, Mina untuk meneguhkan keislaman mereka, mewakili sebagian besar dari kaumnya yang telah memeluk Islam. Peristiwa ini dalam tarikh Islam disebut sebagai Bai’atul Aqabah Pertama, dan menjadi salah satu tonggak perkembangan Islam.
Pada musim haji berikutnya, yakni tahun ke tigabelas dari kenabian, datang lagi kelompok yang lebih besar hingga 70 orang lebih, termasuk tiga orang wanita. Mereka ini mengabarkan bahwa mayoritas penduduk Yatsrib telah memeluk Islam, dan mereka berba’iat untuk mewakili kaumnya masing-masing. Mereka juga menyatakan kalau mereka siap menerima Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya untuk tinggal di sana, karena mereka mendengar kalau perlakuan kaum Quraisy makin keras dan kejam. Peristiwa ini disebut dengan Ba’iatul Aqabah ke dua.
Setelah berlangsungnya Bai'atul Aqabah ke dua, atau juga dikenal dengan Baiatul Aqabah Kubra, Rasulullah SAW menghimbau kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah. Beliau bersabda kepada kaum muslimin, “Sesunggguhnya diperlihatkan (Allah) kepada saya negeri hijrahmu yang mempunyai pohon kurma, di antara dua daerah yang berbatu hitam!!”
Para sahabat langsung merespon himbauan beliau. Sebagian besar berangkat dengan cara sembunyi-sembunyi tetapi ada juga yang terang-terangan seperti Umar bin Khaththab. Sebagian sahabat yang telah berhijrah ke Habasyah ada yang langsung berangkat ke Madinah. Dua bulan lebih setelah Baiatul Aqabah Kubra tersebut, hampir semua kaum muslimin telah meninggalkan Makkah menuju Madinah, kecuali beberapa orang yang diberikan keringanan (rukhsah) untuk tidak berhijrah, atau kaum wanita dan anak-anak. Ketika Abu Bakar meminta ijin Rasulullah SAW untuk berhijrah, beliau bersabda, “Tundalah keberangkatanmu (untuk berangkat bersamaku), sesungguhnya aku masih menunggu izin bagiku untuk berhijrah!!”
“Demi bapakku menjadi taruhannya,” Kata Abu Bakar, “Dalam keadaan seperti ini engkau masih menunggu ijin??”
            Nabi SAW mengiyakan. Memang benar firman Allah, Nabi SAW tidaklah mengatakan atau melakukan sesuatu karena hawa nafsunya, tetapi semua itu adalah atas wahyu dan petunjuk dari Allah (Wa maa yantiqu ‘anil hawaa, in huwa illa wahyuy yuukha).

Awal Keberangkatan Hijrah
Nabi SAW meminta Abu Bakar untuk menunda keberangkatan hijrahnya karena beliau ingin Abu Bakar menemani perjalanannya. Abu Bakar terus menunggu-nunggu, dan setelah empat bulan berlalu, pagi hari (riwayat lain, tengah hari yang sangat panas) pada tanggal 27 Shafar tahun ke empatbelas dari kenabian, salah seorang pembantunya memberitahukan kepadanya, “Ini ada Rasulullah SAW mengenakan kain penutup wajah, tidak biasanya beliau menemui kita pada saat-saat seperti ini…!”
            Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, beliau tidak akan menemui aku di saat seperti ini kecuali ada urusan yang sangat penting…!!”
            Nabi SAW sampai di pintu rumah Abu Bakar dan meminta ijin untuk masuk. Setelah diijinkan, beliau segera masuk dan berkata, “Aku sudah diijinkan untuk pergi (berhijrah)..!!”
            Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, apakah aku harus menyertai engkau (dalam perintah/ijin berhijrah tersebut)?”
            “Benar, dan kita akan berangkat malam ini!!” Kata Rasulullah SAW.
            Hati Abu Bakar menjadi gembira, sungguh suatu kehormatan dan kemuliaan menyertai Nabi SAW dalam hijrah ke Madinah. Beliau merancang beberapa langkah yang akan ditempuh dalam hijrah kali ini, demi mengantisipasi berbagai kemungkinan, setelah itu Nabi SAW pulang. Beliau memakai kembali kain penutup wajah untuk tidak mudah dikenali, agar rencana keberangkatan itu tetap menjadi rahasia. 
            Pada awal malam di hari itu, beberapa orang tokoh kaum Quraisy mengepung rumah Nabi SAW dengan niat bulat untuk membunuh beliau. Beberapa hari sebelumnya para tokoh Quraisy telah bermusyawarah di Darun Nadwah, untuk mengambil sikap dan keputusan terkait dengan hijrahnya kaum muslimin ke Madinah. Pertemuan yang juga dihadiri iblis yang menyamar (mewujud) sebagai sesepuh dari Najd (sebagian riwayat menyebutkan, iblis mewujud sebagai Suraqah bin Malik bin Ju’tsum, yang juga seorang tokoh di daerah Najd), akhirnya memutuskan untuk membunuh Nabi SAW di malam hari itu.
Menjelang tengah malam, beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Tidurlah engkau di atas tempat tidurku, berselimutlah dengan mantelku warna hijau yang berasal dari Hadramaut ini. Tidurlah dengan berselimut mantel ini. Sungguh engkau akan tetap aman dari gangguan mereka yang engkau khawatirkan itu!!”
            Ali melaksanakan perintah Rasulullah SAW tersebut, dan beliau keluar melewati kepungan para orang-orang Quraisy tersebut, bahkan beliau sempat menaburkan pasir di atas kepala mereka yang dalam keadaan tertidur. Riwayat lain menyebutkan mereka tidak tertidur, tetapi tidak bisa melihat Nabi SAW yang melewati mereka dan tidak merasakan pasir yang ditaburkan di atas kepala mereka. Riwayat lain lagi menyebutkan, beliau membacakan ayat ke 8 dan 9 surat Yasiin sehingga mereka tidak bisa melihat beliau ketika melewatinya.
            Nabi SAW bergegas menuju rumah Abu Bakar yang telah siap menunggu dengan gelisah. Kemudian mereka berdua berjalan ke arah selatan, arah menuju Yaman, bukan ke arah utara yang menuju ke Madinah. Setelah menempuh perjalanan sekitar delapan kilometer, mereka sampai di Gunung Tsur dan mendakinya. Abu Bakar memapah Nabi SAW yang tampak sangat kelelahan, apalagi beliau tidak mengenakan alas kaki. Di puncak gunung, mereka menemukan Gua Tsur dan bermaksud bersembunyi di dalamnya. Abu Bakar berkata kepada Nabi SAW, “Demi Allah, janganlah engkau masuk ke dalamnya sebelum aku memasukinya. Jika ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya, biarlah aku yang terkena, asalkan tidak mengenai engkau!!”
            Abu Bakar memasuki gua dan membersihkan ruangannya. Ia melihat sebuah lubang, karena khawatir akan keluar binatang berbisa dari dalamnya, ia merobek sebagian mantelnya untuk menutup lubang tersebut, baru kemudian mempersilahkan Nabi SAW memasukinya. Abu Bakar menutupi lubang tadi dengan kakinya, dan Nabi SAW berbaring dengan berbantalkan paha Abu Bakar dan beliau langsung tertidur karena lelahnya. Tiba-tiba Abu Bakar merasakan sengatan di kakinya yang menutupi lubang tadi, mungkin ular atau kalajengking, dan ia merasa sangat kesakitan. Tetapi ia tidak mau menggerakkan kakinya karena takut akan membangunkan Rasulullah SAW. Ia berusaha keras menahan rasa sakit, hingga air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah SAW, dan beliau terbangun.
            “Apa yang terjadi denganmu,  wahai Abu Bakar?” Tanya Rasulullah SAW.
            “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, aku digigit binatang berbisa!!”
            Nabi SAW bangkit dari tidurnya dan memeriksa kaki Abu Bakar. Beliau meludahi kaki yang terluka tersebut, dan seketika sakit yang dirasakan Abu Bakar lenyap.
Akan halnya para pengepung rumah Nabi SAW, mereka menunggu waktu yang ditentukan untuk melakukan pembunuhan, yakni ketika beliau keluar rumah. Sesekali mereka melakukan pengintaian dan melihat Nabi SAW, yang sebenarnya adalah Ali bin Abi Thalib, tengah tidur berselimutkan kain warna hijau. Ada seorang lelaki Quraisy yang tidak mengetahui rencana pembunuhan Nabi SAW, yang rumahnya dekat rumah beliau, keheranan melihat kerumunan kaum Quraisy itu. Ia menghampiri dan berkata, “Apa yang sedang kalian tunggu??”
Mereka berkata, “Muhammad!!”
Lelaki Quraisy itu telah melihat Nabi SAW keluar, karena itu ia berkata, “Kalian kecele, demi Allah dia telah melewati kalian dan menaburkan pasir di atas kepala kalian. Kemudian dia pergi untuk keperluannya!!”
“Kami tidak melihatnya!!” Kata mereka.
Mereka memeriksa kepalanya, dan memang ada pasir di sana. Tetapi ketika mengintip ke dalam rumah dan masih ada sosok yang tidur di tempat tidur beliau, mereka mengabaikannya dan berkata, “Demi Allah, itu Muhammad masih tidur dengan berselimutkan mantelnya!!”
Mereka terus menunggu dengan pedang terhunus. Menjelang pagi hari, pintu rumah terbuka dan mereka siap menyabetkan pedangnya, tetapi ternyata Ali yang tampak. Dengan garang dan marah mereka berkata, “Dimana Muhammad??”
Ali berkata, “Aku tidak tahu, aku hanya diperintahkan untuk tidur di tempat tidur beliau!!”
Mereka membawa Ali ke dekat Ka’bah dan menginterogasinya habis-habisan, pukulan demi pukulan dijatuhkan ke tubuhnya dengan harapan memperoleh informasi tentang keberadaan Nabi SAW. Walau hanya kesakitan yang dirasakan tubuhnya, tetapi tidak keluar ucapan apapun dari mulut Ali kecuali jawaban, “Aku tidak tahu!!”
Setelah putus asa mengorek keterangan dari Ali, mereka bergegas ke rumah Abu Bakar. Abu Jahal sendiri yang memimpinnya dan ia langsung menggedor pintu rumahnya. Ketika pintu dibuka oleh Asma binti Abu Bakar, ia berkata, “Mana ayahmu??”
Asma berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu dimana ayahku berada!!”
Abu Jahal sangat marah dengan jawaban itu, ia menampar pipi Asma hingga anting-antingnya terlepas dan mulutnya berdarah. Ia segera memerintahkan pengejaran ke segala penjuru, dan menjanjikan seratus ekor unta bagi siapa saja yang berhasil membawa Nabi SAW ke hadapannya, hidup ataupun mati. Setiap jalan keluar dari Makkah dijaga dengan ketat oleh orang-orang Quraisy, terlebih yang mengarah ke Madinah.  
Nabi SAW dan Abu Bakar bersembunyi di dalam Gua Tsur selama tiga hari. Setiap malam Abdullah bin Abu Bakar datang ke gua tersebut untuk menemani dan menceritakan keadaan di Makkah, layaknya seorang mata-mata melaporkan tugasnya. Pagi dan siang harinya ia telah di Makkah, membaur kembali dengan orang-orang Quraisy lainnya. Amir bin Fuhairah, salah seorang pelayan atau budak Abu Bakar, menggembalakan domba-dombanya di kaki gunung tersebut, dan mengantarkan susu ke gua untuk minuman mereka. Menjelang fajar, Abdullah segera kembali ke Makkah, dan Amir bin Fuhairah menggiring domba-dombanya di belakangnya sehingga menghilangkan jejak kaki yang dibuat Abdullah.
            Sebenarnya ada beberapa orang Quraisy yang sempat mendaki gunung dan menemukan Gua Tsur. Abu Bakar berbisik kepada Nabi SAW, “Wahai Nabiyallah, andaikata mereka mendongakkan pandangannya, tentulah mereka akan melihat kita!!”
            “Diamlah, wahai Abu Bakar,” Kata Nabi SAW dengan berbisik juga,” Dua orang, dan yang ketiga adalah Allah!!”
            Sebagian riwayat menyebutkan, di antara para pengejar itu sebenarnya ada yang ingin memasuki goa untuk memastikan, tetapi di atas pintu goa tersebut terdapat sarang burung merpati, dan pintu goa tertutup dengan sarang laba-laba, yang walaupun laba-laba tersebut baru saja membuatnya pada malam itu, tetapi keadaannya seperti sarang yang telah lama berada di situ. Karena itu akal mereka “tertipu”, logika mereka membantah kalau ada orang di dalam gua. Semua itu adalah cara Allah untuk melindungi hamba-hamba yang dikasihi-Nya.

Perjalanan Hijrah ke Madinah
Setelah tiga hari berlalu, suasana Kota Makkah lebih tenang dan pengejaran (pencarian) terhadap Nabi SAW mulai mengendor. Mungkin mereka mengira kalau rombongan beliau telah lolos dan tidak mungkin terkejar lagi. Saat itulah Nabi SAW memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Madinah. Amir bin Fuhairah ikut serta dalam rombongan tersebut, dengan penunjuk jalan Abdullah bin Uraiqith, yang saat itu masih beragama jahiliah, tetapi merupakan orang yang terpercaya dan sangat mengenal medan perjalanan di Jazirah Arabia. Abu Bakar memberi upah dua ekor unta untuk tugasnya tersebut.
Asma binti Abu Bakar menyiapkan perbekalan mereka untuk perjalanan hijrah tersebut. Tetapi ia lupa membawa tali yang diperlukan untuk mengikatkannya pada unta, karena itu ia melepas ikat pinggangnya (nithaq) dan membelahnya (memotong memanjang) menjadi dua. Satu potongan untuk mengikatkan perbekalan pada unta, dan potongan lainnya dipakainya lagi sebagai ikat pinggang. Karena itulah Asma dijuluki dengan nama Dzatun nithaqain (Wanita yang memiliki dua bagian ikat pinggang).
Rombongan kecil itu berjalan ke arah selatan (arah ke Yaman) hingga beberapa mil jauhnya, lalu mengarah ke barat hingga tiba di pesisir Laut Merah, dari sini baru mengarah ke utara menyusuri pantai Laut Merah. Jalan yang memutar dan sangat tidak umum dilalui jika akan ke Madinah, Syam atau tempat lainnya di utara, tetapi mungkin itu cara teraman dari kemungkinan diketahui dan tertangkap oleh kaum Quraisy Makkah.
Setelah semalam penuh melakukan perjalanan dan masih diteruskan hingga tengah hari, barulah rombongan kecil itu berhenti untuk beristirahat. Jalanan di luasnya padang pasir itu sangat sepi karena memang bukan jalur utama yang biasanya dilalui para musafir. Ada sebuah batu besar yang di sisinya terlindung dari teriknya matahari hingga mereka bisa berteduh di tempat itu. Abu Bakar meratakan tanah di tempat itu dan menghamparkan surbannya, sambil berkata, “Wahai Rasulullah, tidurlah dan biarlah aku meniup-niup (mengipasi) di sekitar engkau!!”
Nabi SAW membaringkan tubuhnya dan langsung tertidur karena begitu lelahnya, sementara itu Abu Bakar terus meniup-niup agar hawa panas yang dirasakan beliau berkurang. Tidak lama kemudian ada seorang penggembala dengan domba-dombanya yang juga berteduh di sisi batu tersebut. Setelah menanyakan asalnya, Abu Bakar berkata kepada penggembala tersebut, “Apa di antara domba-dombamu itu ada yang bisa diperah susunya?”
Ada,” Kata Sang Penggembala.
“Apakah engkau mau memerahkannya untuk kami?”
“Baiklah!!”
Penggembala itu mengambil salah satu domba dan memerah susunya. Cukup banyak dan mencukupi bagi rombongan kecil itu dan Abu Bakar membayar harganya. Ia juga menyiapkan air untuk berwudhu Nabi SAW, tetapi beliau masih lelap tertidur. Untuk menjaga agar susu itu tetap dingin, ia menaruh bejana susu itu di atas air. Ketika beliau terbangun, Abu Bakar menyodorkan susu tersebut dan berkata, “Minumlah, wahai Rasulullah!!”
Nabi SAW minum susu tersebut hingga puas, kemudian berwudhu dan shalat. Setelah itu beliau berkata, “Bukankah sudah waktunya bagi kita untuk melanjutkan perjalanan??”
“Benar!!” Kata Abu Bakar, dan ia memerintahkan Amir bin Fuhairah menyiapkan untanya, kemudian melanjutkan perjalanan.

Pengejaran Suraqah bin Malik bin Ju’tsum
Walau bisa dikatakan perjalanan itu aman karena melalui jalur yang tidak umum, tetapi ada juga yang mempergoki rombongan hijrah Nabi SAW itu. Suraqah bin Malik bin Ju’tsum, salah satu pemuka Bani Mudlij, didatangi salah seorang dari kaumnya yang berkata kepadanya, “Wahai Suraqah, tadi aku melihat beberapa orang berjalan di pesisir pantai, kupikir itu adalah Muhammad dan rekan-rekannya!!”
Kabar tentang kepergian Nabi SAW dari Makkah, dan sayembara yang diadakan oleh kaum Quraisy untuk menemukan dan menangkap beliau memang telah menyebar se antero Jazirah Arabia. Beberapa hari lamanya kaum Quraisy melakukan pencarian dan pengejaran, termasuk juga para ‘pemburu hadiah’ seratus unta yang dijanjikan Abu Jahal, tetapi mengalami kegagalan. Demi mendengar berita dari kaumnya itu, Suraqah yakin bahwa musafir di pesisir itu adalah Nabi SAW dan rombongannya, tetapi ia tidak ingin ada orang lain yang mendahuluinya. Karena itu ia berkata, “Diamlah, mereka itu bukan Muhammad, tetapi adalah Fulan bin Fulan yang pergi tetapi tidak ingin diketahui keberadaannya!!”
Saat itu Suraqah sedang menghadiri pertemuan dengan para pemuka Bani Mudlij, tetapi diam-diam ia memerintahkan budak wanitanya untuk mempersiapkan kudanya untuk suatu perjalanan jauh, berikut senjata dan perbekalannya. Setelah beberapa waktu lamanya terlibat pembicaraan dalam pertemuan tersebut, ia meminta ijin untuk pulang dahulu karena ada suatu keperluan. Begitu sampai di rumah, ia menyelinap ke belakang, kemudian menunggang kuda dan memacunya secepat mungkin ke arah yang ditunjukkan kaumnya itu. Bayangan memperoleh seratus ekor unta dari Abu jahal membuat semangatnya begitu memuncak untuk mengejar Nabi SAW.
Dalam waktu singkat, ia telah melihat di kejauhan bayangan beberapa orang yang berjalan melintas padang pasir di teriknya matahari. Makin cepat ia memacu kudanya, dan makin jelas ia mengenali kalau dua dari mereka adalah Nabi SAW dan Abu Bakar, yang makin ‘populer’ di jazirah Arabia dalam beberapa tahun terakhir. Abu Bakar yang duduk di boncengan unta Nabi SAW, terlihat cemas ketika menyadari kalau ada pengendara kuda yang menyusul. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, rupanya ada yang menemukan kita!!”
Tetapi Nabi SAW bersabda, “Janganlah engkau takut, sesungguhnya Allah beserta kita!!”
Suraqah makin mendekat saja dan ia menyiapkan tombaknya untuk suatu serangan, tetapi tiba-tiba kaki kudanya terjerembab dan ia jatuh berguling-guling. Nabi SAW terus saja berjalan tanpa memperdulikannya. Suraqah menaiki kudanya lagi dan menyiapkan anak panahnya. Tetapi ketika telah mendekat dan siap memanah, lagi-lagi kudanya terjerembab. Kali ini kaki depan kudanya terkubur cukup dalam, dan tidak mudah untuk mengeluarkannya.
Dua kali mengalami kegagalan sebenarnya telah cukup memberikan gambaran buruk bagi Suraqah, tetapi ia masih mencoba mengundi dengan panah. Itu adalah suatu kebiasaan jahiliah untuk menentukan keputusan atau sikap, dan ternyata hasil undian itu buruk baginya. Tetapi bayangan hadiah seratus unta itu tidak lekang begitu saja. Ia masih juga penasaran, setelah berhasil membebaskan kudanya, ia mengejar lagi, tetapi untuk ketiga kalinya, kudanya terjerembab dan kali ini diikuti dengan debu yang bertaburan di udara. Sadarlah Suraqah bahwa orang yang dikejarnya bukanlah orang sembarangan.
Setelah berhasil membebaskan kudanya dan tidak ada lagi niat untuk menangkap atau membunuh Nabi SAW, Suraqah berhasil mendekati rombongan beliau dan memanggilnya, maka beliau memerintahkan untuk berhenti. Setelah berhadapan dengan Nabi SAW, ia meminta maaf dan memohon untuk tidak diapa-apakan, ia juga menawarkan untuk memberikan perbekalan yang dibawanya. Nabi SAW memaafkannya tetapi menolak pemberiannya, hanya saja beliau bersabda, “Rahasiakanlah perjalanan kami!!”
Suraqah berjanji untuk itu, tetapi ia meminta jaminan keamanan dari Nabi SAW, maka beliau menyuruh Amir bin Fuhairah untuk menuliskannya di sebuah kulit yang disamak, dan menyerahkannya kepada Suraqah. Sesaat terdiam, kemudian Rasulullah SAW berkata pada Suraqah, "Wahai Suraqah, bagaimana perasaanmu jika engkau memakai dua gelang Kisra?"
"Kisra bin Hurmuz?" Suraqah tercengang tak mengerti.                                                                    Nabi SAW tersenyum memandang ekspresi Suraqah, tetapi beliau tidak menjelaskan lebih lanjut. Kemudian beliau meninggalkannya, meneruskan perjalanan hijrah.
Di kemudian hari, pada masa khalifah Umar bin Khaththab, Suraqah benar-benar memakai gelang kebesaran Kisra bin Hurmuz. Saat itu Kekaisaran Persia takluk kepada pemerintahan Islam, dan harta kekayaannya dibawa ke Madinah, untuk diserahkan langsung kepada Umar. Dan Umar yang mengetahui kisah pengejaran Suraqah terhadap Nabi SAW saat hijrah itu, memerintahkan dirinya memakai dua gelang tersebut, sebagai ‘penggenapan’ dari apa yang disabdakan atau diramalkan Nabi SAW, belasan tahun sebelumnya.      
Abu Bakar mempunyai kebiasaan duduk membonceng di belakang Nabi SAW, dan ia seseorang yang cukup dikenal di kawasan Jazirah Arabia. Ketika bertemu beberapa orang yang mengenalnya dalam perjalanan hijrah itu, mereka bertanya, “Siapakah orang yang di depanmu itu?”
            Abu Bakar selalu menjawab,  “Dia orang yang menunjukkan jalan kepadaku..!!”
            Jawaban itu terkesan suatu kebohongan untuk menyelamatkan Nabi SAW. Tetapi bisa dikatakan Abu Bakar tidak berbohong, walaupun orang lain yang menanyakannya mempunyai persepsi yang berbeda atas jawabannya tersebut. Bagi Abu Bakar, Nabi SAW memang orang yang menunjukkan jalan kebenaran, jalan keselamatan baginya di dunia dan akhirat. Sedang persepsi orang-orang itu, beliau adalah penunjuk jalan Abu Bakar untuk perjalanannya menuju Madinah.

Pemburu Hadiah yang Berbalik Memeluk Islam       
Buraidah bin Hushaib al Aslamy dan kaumnya tinggal di tempat bernama al Ghamim, suatu lembah berjarak satu marhalah dari Makkah. Ketika ia mendengar kaum kafir Quraisy menjanjikan hadiah seratus ekor unta bagi yang bisa menemukan atau menunjukkan keberadaan Nabi SAW dan rombongan hijrahnya, ia sangat berharap bisa memperoleh hadiah tersebut. Karena itu bersama tujuhpuluh orang dari kaumnya, ia berusaha menemukan dan menelusuri jejak perjalanan beliau. Akhirnya ia menemukan rombongan kecil itu sedang beristirahat tidak jauh dari tempat tinggal kabilahnya. Tetapi, seperti halnya yang terjadi Suraqah bin Malik, begitu dekat dan berhadapan dengan Nabi SAW, ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mewujudkan rencananya.
Ketika mereka telah tiba, Nabi SAW mempersilahkan mereka duduk dan mengajaknya berbincang-bincang, beliau juga menjelaskan tentang risalah Islam yang sedang beliau dakwahkan. Ternyata hidayah Allah datang membuka hati Buraidah, ia bangkit dan melepas serbannya, kemudian mengikatkannya di ujung tombaknya layaknya sebuah panji pertempuran, sambil berseru keras kepada orang-orang yang mengikutinya, “Pemimpin yang membawa keamanan dan perdamaian (yakni Rasulullah SAW) telah datang untuk memenuhi dunia dengan keadilan.”
Kemudian ia mengucap persaksian (syahadat) untuk memeluk Islam, disusul dengan tujuhpuluh orang pengikutnya itu. Nabi SAW sangat gembira menyambut keislaman mereka. Buraidah mengajak Nabi SAW dan rombongan hijrahnya untuk singgah di perkampungan mereka. Dan hampir semua dari 82 keluarga yang mendiami lembah itu memeluk Islam sebelum waktu isya, dan Nabi SAW berjamaah shalat isya bersama mereka.

Pertemuan dengan Ummu Ma’bad al Khuzai
            Dalam perjalanan hijrah itu, Nabi SAW juga melewati perkampungan Ummu Ma’bad. Ummu Ma’bad al Khuzai cukup terkenal bagi para musafir yang melewati ‘belantara’ padang pasir, sebagai seorang wanita yang sabar dan pemurah. Setiap hari ia duduk di serambi tendanya, memberikan makanan dan minuman kepada siapa saja yang melewati tendanya. Ketika melihatnya, beliau memberi salam dan menanyakan kalau-kalau ada sesuatu untuk dimakan atau diminum. Ummu Ma’bad berkata, “Demi Allah, andaikata kami mempunyai sesuatu, tentulah kalian tidak akan kesulitan mendapatkan hidangan kami. Kini adalah masa paceklik, domba-domba tidak ada yang mengandung, tanam-tanaman juga tidak mengeluarkan hasilnya!!”
            Nabi SAW melihat seekor domba betina di samping tendanya yang tampak sangat kurusnya, maka beliau berkata, “Ada apa dengan domba betina itu, wahai Ummu Ma’bad?”
            Ia berkata, “Domba betina itu sudah sangat tua dan tidak bisa melahirkan anak lagi!!”
            Beliau berkata, “Apakah ia masih mengeluarkan susu??”
            Ia berkata, “Tentu saja tidak, ia terlalu tua untuk itu!!”
            Beliau berkata lagi, “Apakah engkau mengijinkan jika aku bisa memerah susunya??”
            Sesaat Ummu Ma’bad memandang beliau tidak mengerti, kalau-kalau beliau sedang berkelakar atau sedang memperoloknya. Tetapi ia melihat wajah yang bersungguh-sungguh, tidak sedang bercanda, bahkan sebaliknya, terasa sekali sangat menyejukkan memandang wajah beliau itu. Tentu saja Ummu Ma’bad tidak mengetahui kalau beliau adalah Nabi dan Rasul akhir zaman yang ‘Rahmatal lil ‘alamin’. Maka ia berkata, “Boleh saja, demi ayah dan ibuku, jika engkau memang melihat kalau ia masih bisa diperah susunya, perahlah!!”
            Nabi SAW mendekati domba betina tua itu, mengusap kantong kelenjar susunya dan mengucap asma Allah kemudian berdoa. Tidak lama berselang, kantong susu domba itu menjadi besar dan menggelembung penuh. Beliau meminta bejana-bejana milik Ummu Ma’bad dan mulai memerah susunya. Pertama kali diberikan kepada Ummu Ma’bad yang segera meminumnya dengan lahap. Beliau memerah lagi untuk rombongan beliau dan yang lainnya, setelah semuanya merasa kenyang dengan susu hasil mu’jizat itu, baru beliau sendiri yang meminumnya.
Nabi SAW juga memenuhi bejana-bejana Ummu Ma’bad dengan air susu itu, dan setelah beliau melepas tangan beliau, kantong kelenjar susu kambing itu mengempis lagi seperti sedia kala. Setelah mengucapkan terima kasih, Nabi SAW dan rombongannya melanjutkan perjalanan, diikuti dengan pandangan keheranan dan kekaguman dari Ummu Ma’bad.
Jauh di Makkah, kaum muslimin yang masih tinggal di sana, khususnya Asma binti Abu Bakar, diliputi tanda tanya besat tentang keadaan Nabi SAW dan Abu Bakar yang berangkat berhijrah beberapa hari sebelumnya. Melihat gencarnya pencarian kaum Quraisy, apalagi diiming-iming (dijanjikan) dengan hadiah seratus unta bagi yang bisa mendapatkannya, hidup atau mati, mereka sangat khawatir dengan keselamatan beliau. Tetapi setelah Nabi SAW meninggalkan tenda Ummu Ma’bad itu, di Makkah terdengar suara nyaring menggema, suara yang melantunkan syair yang bisa didengar oleh seluruh penduduknya, baik yang di dataran tinggi atau dataran rendahnya. Syair itu berbunyi :
Allah Penguasa Arsy melimpahkan pahala terbaik
Dua orang yang lemah lembut lerwat di tenda Ummu Ma’bad
Mereka melanjutkan perjalanan set6elah singgah barang sejenak
Sungguh beruntunglah orang yang selalu menyertai Muhammad
Ceritakanlah apa yang disingkirkan Allah dari kalian
Karena perbuatan orang-orang yang tidak mendapat balasan
Bani Ka’ab benar-benar menjadi hina karena anak-anak gadisnya
Tanah yang subur adalah tempat duduk bagi mereka yang percaya
Tanyalah saudari kalian (Ummu Ma’bad) tentang domba dan bejananya
Jika kalian tanyakan domba itu tentu akan melihatnya
Mendengar syair yang begitu nyaring menggema, penduduk Makkah keluar rumah untuk mencari tahu siapa penyair itu, tetapi mereka tidak melihat siapapun. Suara itu berpindah-pindah dari dataran rendah Makkah ke dataran tingginya, kemudian kembali lagi, begitu berulang-ulang. Asma yang juga keluar rumah seperti yang lainnya, melihat bayangan lelaki yang mengucap syair itu, tetapi berkelebat begitu cepatnya, berpindah-pindah tanpa bisa ditemukan jejaknya oleh orang-orang yang mencarinya. Mungkin dia memang malaikat atau jin muslim yang diperintahkan Allah bersyair seperti itu, yang intinya memberitahukan bahwa Nabi SAW dan rombongan hijrah beliau selamat dari pengejaran kaum Quraisy dan orang-orang yang memburu hadiah.
Ummu Ma’bad sendiri masih terpana ketika suaminya, Abu Ma’bad datang menggiring domba-dombanya yang kurus dan lemah. Melihat adanya susu dalam beberapa bejananya, ia berkata, “Dari mana ini? Bukankah domba-domba di rumah ini mandul dan tidak bisa diperah??”
Ummu Ma’bad berkata, “Demi Allah, tadi lewat di sini seorang lelaki yang penuh barakah…. !!”
Kemudian ia menceritakan dengan mendetail bagaimana Nabi SAW memerah susu dari domba yang sebenarnya telah mandul dan tua. Abu Ma’bad segera saja menyahut, “Demi Allah, dia adalah salah seorang Quraisy yang sedang mereka (kaum musyrikin Quraisy) cari-cari. Katakan kepadaku, wahai Ummu Ma’bad, bagaimana ciri-ciri lelaki itu??”
Dengan mata berbinar dan wajah berseri penuh semangat, Ummu Ma’bad bercerita, “Dia sangat bersih, wajahnya berseri-seri, bagus perawakannya, tidak merasa berat karena gemuk. Kepalanya kecil dan serasi, tetapi tidak bisa dicela karena elok dan tampan. Di matanya ada warna hitam dan bulu matanya panjang (lebat), tidak mengobral bicara, lehernya jenjang, matanya jelita dan memakai celak mata. Alisnya tipis, memanjang dan bersambung, rambutnya hitam. Jika diam dia tampak berwibawa, jika berbicara dia tampak menarik. Dia adalah orang yang paling elok dan menawan saat dilihat dari kejauhan, tampak manis dan sangat bagus ketika telah mendekat. Bicaranya manis dan rinci, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak, cara bicaranya seakan-akan marjan yang tertata rapi dan landai. Perawakannya sedang saja, mata yang memandangnya tidak ‘lolos’ karena terlalu pendek, dan juga tidak harus ‘mendongak’ karena terlalu tinggi, seakan-akan suatu dahan di antara dua dahan. Dia adalah salah satu orang yang paling menarik dari tiga orang, yang paling bagus penampilannya, mempunyai teman-teman yang sangat menghormatinya. Jika dia bicara, mereka selalu menyimak perkataannya. Jika dia memberi perintah, mereka segera melaksanakannya, dia orang yang ditaati dan disegani, dan (tentunya) orang-orang akan berkerumun di sekelilingnya. Wajahnya tidak pernah memberengut sehingga tidak akan ada seorangpun yang merasa diremehkan olehnya…..!!”
Mendengar penjabaran istrinya itu, Abu Ma’bad berkata, “Demi Allah, dia itu adalah orang Quraisy yang agamanya selalu mereka sebut-sebut (menjadi pembicaraan umum). Sesungguhnya aku ingin sekali menyertai dirinya. Dan aku akan benar-benar melaksanakannya jika ada jalan dan kesempatan untuk itu!!”
Dua orang suami istri itu akhirnya memeluk Islam, tetapi tidak jelas kapan mereka berba’iat memeluk Islam.

Tiba di Madinah
Setelah meninggalkan perkampungan Ummu Ma’bad, praktis tidak ada halangan yang berarti bagi rombongan hijrah Nabi SAW. Tepat sekali apa yang diberitakan oleh sosok ghaib, entah itu malaikat atau jin muslim, yang melantunkan syair tentang keadaan Nabi SAW yang aman dan selamat setelah mendapat hidangan mu’jizat di perkemahan Ummu Ma’bad. Beliau sempat bertemu dengan kafilah dagang kaum Quraisy yang pulang dari Syam, tetapi salah satu pemimpin rombongan adalah Zubair bin Awwam yang telah memeluk Islam. Karena itu sama sekali tidak ada gangguan, bahkan Zubair menghadiahkan kain (baju) putih buatan Syam bagi Nabi SAW dan Abu Bakar.
Pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal (riwayat lain menyebutkan 12 Rabi’ul Awwal) tahun ke 14 dari kenabian, atau tahun pertama hijriah Nabi SAW memasuki Quba, wilayah pinggiran Yatsrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah an Nabi, dan akhirnya lebih dikenal dengan nama Madinah saja. Mayoritas kaum muslimin telah tinggal di Madinah, termasuk kaum Muhajirin yang telah tiba beberapa bulan sebelumnya. Setelah mendengar keberangkatan Nabi SAW meninggalkan Makkah, hampir setiap hari mereka berkumpul di tanah lapang di Quba sambil melihat di kejauhan kalau-kalau Nabi SAW telah datang. Entah bagaimana logikanya, tetapi rasa cinta yang begitu mendalam membuat mereka berfikir akan bisa bertemu dengan Nabi SAW dalam sehari dua hari saja, padahal jarak yang harus ditempuh hampir 500 km melalui padang pasir yang begitu panasnya. Tetapi bisa jadi mereka berfikir bahwa mu’jizat juga akan datang, seperti ketika terjadi peristiwa Isra Mi’raj saat beliau masih tinggal di Makkah.
Sebagian riwayat menyebutkan Nabi SAW meninggalkan Makkah tanggal 27 Shafar, itu berarti sepuluh hari lebih mereka selalu berkumpul bersiap menyambut kehadiran Nabi SAW. Jika matahari telah meninggi dan panasnya sangat menyengat, barulah mereka kembali ke rumah masing-masing. Setelah berhari-hari seperti itu, pada hari Senin itu kaum muslimin sebenarnya telah pulang ke rumah masing-masing, tetapi ada seorang Yahudi yang menaiki bentengnya (Riwayat lain, sedang naik ke pohon kurmanya), dan di kejauhan ia melihat titik putih yang timbul tenggelam dan mengabur karena efek fatamorgana. Makin lama titik itu makin jelas menunjukkan kehadiran rombongan kecil, maka spontan tanpa bisa menahan diri lagi, si Yahudi berteriak, “Wahai sekalian orang Arab, itulah orang yang kalian tunggu-tunggu!!”
Segera saja kaum muslimin berkumpul kembali di tempat biasanya mereka menunggu dalam beberapa hari terakhir. Beberapa saat kemudian rombongan Nabi SAW tiba dan mereka langsung berkerumun di sekitar beliau, sambil menggemakan takbir dan tahmid, tetapi beliau terus berjalan hingga tiba di perkampungan Bani Amr bin Auf. Nabi SAW duduk diam dan beristirahat sedang Abu Bakar tetap berdiri. Orang-orang Anshar yang belum pernah bertemu dengan Nabi SAW menganggap Abu Bakar itulah Nabi SAW. Tetapi ketika panas menerpa wajah beliau dan Abu Bakar mengembangkan mantelnya untuk memayungi, barulah mereka sadar kalau Nabi SAW adalah yang duduk itu.
Di Quba Nabi SAW tinggal di rumah Kultsum bin Hidm (atau riwayat lain, Sa’d bin Khaitsamah) selama empat hari, dari senin hingga kamis. Dalam empat hari itu beliau membangun masjid yang pertama dalam sejarah keislaman, yang kemudian disebut dengan Masjid Quba. Pada hari Jum’atnya beliau bertolak ke Madinah, yakni ke Bani Najjar, yang termasuk masih paman-paman beliau dari pihak ibu.