Senin, 19 Agustus 2013

Ketika Seseorang Meminta pada Nabi SAW

Seorang lelaki yang memang miskin, meminta sesuatu kepada Nabi SAW untuk memenuhi kebutuhannya. Beliau berkata kepadanya, "Apakah engkau memiliki sesuatu di rumahmu?"
"Benar, wahai Rasulullah," Kata lelaki itu, "Kami memiliki dua tikar yang sebagiannya sudah robek. Satunya  kami gunakan untuk duduk dan tidur, sebagiannya untuk alas dan sebagiannya untuk selimut. Dan yang satunya lagi kami gunakan untuk makan, minum dan membersihkan kepala kami…!"
"Bawalah keduanya kemari!" Kata Nabi SAW.
 Lelaki tersebut pulang mengambil tikarnya, dan bergegas kembali kemudian menyerahkan dua tikarnya kepada Nabi SAW. Beliau memegang dua tikar tersebut dan bersabda, "Siapa yang akan membeli tikar ini?"
"Saya akan membeli keduanya dengan satu dirham!" Salah seorang sahabat menyahut.
Nabi SAW bersabda lagi, "Apakah ada yang mau membelinya dengan harga lebih satu dirham?"
Seorang sahabat lainnya bersedia membeli dengan harga dua dirham, dan beliau menyerahkan tikar tersebut kepadanya. Kemudian beliau memanggil lelaki pemilik dua tikar tersebut dan bersabda, "Satu dirham ini belikan makanan dan bawalah pulang ke rumahmu. Dan satu dirham lagi belikan kampak, bawalah kemari..!"
Lelaki tersebut melaksanakan perintah beliau. Beberapa saat kemudian kembali menghadap Rasulullah SAW  dengan membawa kampak yang dibelinya. Beliau meminta kampak tersebut dan memasangkan kayu pegangan yang telah beliau persiapkan, dan bersabda, "Pergilah, carilah kayu dan juallah! Aku tidak ingin melihat kamu selama limabelas hari..!"
Lelaki tersebut pergi memenuhi perintah Nabi SAW. Dan setelah lima belas hari, ia kembali menghadap Nabi SAW dan menceritakan kalau ia telah memperoleh sepuluh dirham dari mencari dan menjual kayu bakar. Sebagian digunakan untuk membeli makanan dan sebagian lagi membeli pakaian. Nabi SAW tersenyum dan bersabda, "Bukankah pekerjaan itu lebih baik bagimu, daripada nanti kamu datang di akhirat (yakni pada hari kiamat), sedang perbuatan meminta-mintamu akan berupa noda hitam di wajahmu, yang tidak bisa dihapus kecuali dengan api neraka!!"
Dalam kesempatan lainnya ketika Nabi SAW sedang berjalan-jalan bersama beberapa orang sahabat, mereka bertemu dengan seorang pemuda Badui yang tampak gesit dan tangkas dalam bekerja. Abu Bakar dan Umar berkata, “Seandainya kemudaan dan ketangkasannya digunakan untuk berjuang di jalan Allah, niscaya ia akan memperoleh pahala yang lebih besar!!”
Mendengat komentar seperti itu, Nabi SAW bersabda, “Apabila pemuda itu bekerja untuk kedua orang tuanya yang sudah tua guna meringankan beban keduanya, maka ia berada di jalan Allah (yakni, termasuk jihad fi sabilillah). Apabila ia bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, maka ia berada di jalan Allah. Apabila ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak meminta-minta kepada orang lain, maka ia berada di jalan Allah. Tetapi apabila ia bekerja untuk berbangga-bangga (dengan hartanya) dan mencari nama (ketenaran), maka ia berada di jalan setan!!”  



Terlalu Memuji dan Memuliakan Seseorang

Ketika kaum muslimin di Makkah berhijrah ke Madinah, Nabi SAW mempersaudarakan mereka, yang kemudian disebut kaum Muhajirin, dengan penduduk asli Madinah yang telah memeluk Islam, yang kemudian disebut kaum Anshar. Dalam beberapa keadaan, para sahabat Anshar itu saling ‘berebutan’ untuk bisa menjamin kehidupan kaum Muhajirin itu yang jumlahnya memang lebih sedikit, sehingga Nabi SAW terpaksa melakukan ‘undian’. Salah satunya adalah sahabat Utsman bin Mazh’un, yang kemudian ‘jatuh’ pada keluarga wanita Anshar bernama Ummul ‘Ala.
Utsman bin Mazh’un adalah seorang sahabat yang saleh dan sangat mencintai Rasulullah SAW. Ia sempat berhijrah ke Habasyah dan merasakan ketenangan beribadah karena perlindungan Raja Najasyi, tetapi kerinduannya kepada Nabi SAW memaksa dirinya kembali ke Makkah. Saat tinggal di Makkah lagi, sebenarnya ia mendapatkan perlindungan keamanan dari tokoh kafir Quraisy, Walid bin Mughirah, yang terhitung masih pamannya sendiri. Tetapi melihat kaum muslimin lainnya mengalami penderitaan dan penyiksaan yang tidak terperikan dari kaum kafir Quraisy, ia merasa keimanan dan keislamannya kurang lengkap jika tidak merasakan penderitaan yang sama. Karena itu ia ‘mengembalikan’ jaminan keamanan kepada Walid bin Mughirah, dan memilih jaminan Allah semata, maka ia mulai merasakan penderitaan akibat penyiksaan seperti kaum muslimin lainnya.
Ketika tinggal dan dipersaudarakan dengan keluarga Ummul ‘Ala, kerajinan Utsman beribadah kepada Allah makin meningkat saja. Bahkan karena asyiknya beribadah, ia sempat ‘mengabaikan’ istrinya begitu saja, sampai-sampai Nabi SAW turun tangan mengingatkan akan kewajibannya mempergauli istrinya. Kalau tidak sedang berjuang di jalan Allah bersama kaum muslimin lainnya, ia layaknya seorang rahib yang tenggelam dalam ibadahnya kepada Allah. Bahkan ketika sedang berkuda menerjuni medan jihad fi sabilillah, jiwa ‘rahib’-nya masih saja tampak dalam dirinya.
Setelah beberapa tahun tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh’un meninggal karena sakit. Setelah jenazahnya dimandikan dan dikafani, Nabi SAW datang. Ummul ‘Ala yang memang mengetahui keseharian Ibnu Mazh’un berkata kepada jenazahnya, “Semoga rahmat Allah tercurah atas engkau, wahai Abu Saib (nama kunyah Utsman bin Mazh’un), aku menjadi saksi bagimu, sesungguhnya Allah telah memuliakanmu!!”
Mendengar ucapannya tersebut, Nabi SAW bersabda dengan nada menegur, “Bagaimana engkau tahu Allah telah memuliakannya??”
Ummul ‘Ala terkejut mendengar teguran Nabi SAW itu. Tentunya para sahabat, baik kaum Muhajirin ataupun Anshar, tahu betul bagaimana banyaknya dan tingkat kualitas ibadah Utsman bin Mazh’un, tetapi hanya dengan melihat hal itu sepertinya belum cukup untuk menjadi jaminan bahwa orang itu dimuliakan oleh Allah.
Sebagai permintaan maaf, Ummul ‘Ala berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai tebusannya, siapakah kiranya orang yang dimuliakan Allah??”
Nabi SAW bersabda, “Dia telah meninggal. Demi Allah, aku hanya bisa mengharap dan mendoakan semoga dia mendapat kebaikan dari Allah. Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, walau aku seorang utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan diperbuat Allah kepadaku!!”
Ummul ‘Ala berkata, seolah kepada dirinya sendiri, “Demi Allah, sesudah ini aku tidak akan pernah menyatakan diri seseorang itu suci atau mulia di sisi Allah!!”
      
Note:sb1-271rhr