Tahun ke sepuluh dari kenabian, ketika
Abu Thalib dan Khadijah wafat, tekanan dan siksaan yang dilakukan oleh kaum
kafir Quraisy makin meningkat, baik kepada kaum muslimin, terlebih kepada Nabi
SAW sendiri. Khadijah bisa dikatakan sebagai ‘sandaran psikologis’ ketika beban
penentangan begitu berat beliau rasakan. Sedangkan Abu Thalib, walau tidak
bersedia memeluk Islam, tetapi atas nama kekerabatan mampu meredam ‘kekejaman’
kaum kafir Quraisy dengan ketokohannya dalam masyarakat Quraisy.
Walau bagaimanapun juga Allah SWT
yang menjadi sandaran utama dan tempat tawakal Nabi SAW, tetapi kehilangan dua
orang yang begitu dekat membuat beliau bersedih, terlebih bila melihat
perlakuan kejam yang dirasakan umat Islam yang lemah. Karena itu beliau
berfikir keras untuk mencari jalan keluar, dan akhirnya beliau berinisiatif
untuk menyeru penduduk Thaif untuk memeluk Islam. Bani Tsaqif yang mendiami
Kota Thaif termasuk suku/kabilah yang terpandang dan mempunyai kekuatan yang
cukup disegani di jazirah Arabia. Kalau upaya
itu berhasil, setidaknya bisa mengurangi dan menghambat tekanan kaum Quraisy.
Dengan ditemani Zaid bin Haritsah,
Nabi SAW menempuh jarak sekitar 90 km (60 mil) di padang pasir dengan berjalan kaki. Setiap
bertemu dengan suatu kabilah dalam perjalanan itu, beliau menyeru mereka untuk
memeluk Islam, tetapi tidak memperoleh sambutan yang berarti. Setibanya di
Thaif, beliau menemui tiga orang putra Amr bin Umair as Tsaqafi yang merupakan
pimpinan masyarakat mereka, yakni Abd Yalail, Mas’ud dan Hubaib bin Amr. Beliau
duduk di hadapan mereka dan menceritakan tentang risalah Keislaman yang beliau
bawa, serta mengajak mereka kepada Allah, kepada Islam dan untuk menjadi
pembela agama Allah, tetapi mereka menanggapinya dengan sinis dan menyakitkan.
Salah seorang dari mereka berkata,
“Jika memang Allah telah mengutusmu sebagai Rasul, berarti kain Ka’bah telah
terkoyak!!”
Salah satunya lagi berkata, “Apakah
Allah tidak mendapatkan orang lainnya selain dirimu (untuk diangkat sebagai
rasul)??”
Yang terakhir berkata, “Demi Allah,
aku tidak sudi berbicara lagi denganmu. Jika engkau benar-benar seorang rasul,
maka akan berbahaya (menjadi ancaman) bagiku jika aku menyanggah perkataanmu.
Tetapi jika engkau membuat kedustaan terhadap Allah (dengan mengaku diangkat
menjadi rasul), maka tidak layak bagiku untuk berbicara denganmu ….!!”
Dengan sikap yang seperti itu,
beliau tidak lagi mencari peluang untuk terus berdakwah kepada mereka, akan
percuma saja. Tetapi sambil bangkit untuk pergi, beliau berkata, “Jika kalian
memang telah bersikap seperti ini (ya mau apalagi), tetapi tolong sembunyikan
aku (dari kaum Quraisy)…!!”
Untuk permintaan yang terakhir itu
mereka memenuhinya, tidak mengabarkannya kepada kaum Quraisy di Makkah. Selama
sepuluh hari beliau tinggal di Thaif, dan tidak henti-hentinya beliau menyeru
para pemimpin kabilah yang beliau temui, tetapi tenyata tidak ada seorangpun
yang menyambut ajakan beliau. Bahkan akhirnya mereka merasa terganggu dan
mengusir beliau dari Thaif. Mereka berkata, “Usir orang ini dari negeri kita,
dan kerahkan semua orang untuk memperdayainya (menyakitinya)…!!”
Ketika Nabi SAW meninggalkan Thaif,
mereka mengumpulkan beberapa orang jahat dan para budak mengerumuni beliau.
Mereka dibentuk dalam dua barisan di kanan kiri jalan, sambil mencaci maki
serta melemparkan batu kepada mereka berdua. Zaid bin Haritsah mati-matian
melindungi Nabi SAW dari serangan lemparan batu-batu tersebut. Tak terkira
luka-luka di kepala dan tubuh mereka berdua, karena kaum musyrikin Thaif itu
terus melakukan serangan batu sepanjang hampir 5 km (3 mil). Mereka baru
berhenti menyerang dan kembali ke Thaif, setelah Nabi SAW dan Zaid masuk ke
dalam kebun milik Utbah dan Syaibah bin Rabiah, seorang tokoh Quraisy. Luka
mengucur hampir dari seluruh bagian tubuh Zaid bin Haritsah karena ia pasang badan
melindungi Nabi SAW, tetapi beliau sendiri juga terluka, bahkan salah satu urat
di atas tumit beliau putus sehingga darah membasahi terompahnya. Zaid sangat mengkhawatirkan
luka pada kaki Nabi SAW daripada luka-lukanya sendir yang jauh lebih parah.
Nabi SAW duduk berlindung di bawah
rimbunan pohon anggur, kemudian berdoa, “Ya Allah, hanya kepadaMu aku
mengadukan kelemahan diriku, kekurangan siasatku, dan kehinaanku di hadapan
manusia. Wahai Yang Maha Pengasih di antara para pengasih, Engkau adalah Rabb
kaum yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau akan menyerahkan
diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku, atau kepada musuh yang
akan menguasai urusanku? Aku tidak perduli (dengan semua itu) asalkan Engkau
tidak murka kepadaku, sungguh teramat luas afiat yang Engkau limpahkan
kepadaku. Aku berlindung dengan cahaya WajahMu yang menyinari segala kegelapan,
yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak
menurunkan kemurkaanMu kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegurku hingga
Engkau ridha, tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Engkau ….!!!”
Sang pemilik kebun, Utbah dan
Syaibah bin Rabiah merasa trenyuh dan terketuk hatinya melihat apa yang dialami
Nabi SAW. Mereka memang tidak suka dan menolak apa yang didakwahkan beliau,
tetapi sebenarnya mereka, dan juga sebagian besar tokoh Quraisy lainnya, sangat
menghargai dan memuliakan Nabi SAW sebagai suatu pribadi yang luhur dan dapat
dipercaya. Jauh di lubuk hati mereka itu sebenarnya bisa menerima kebenaran
dari apa yang beliau dakwahkan, hanya saja rasa gengsi dan ego (harga diri)
yang menghalanginya, mereka tidak mau berada ‘dibawah’ Nabi SAW yang hanya
seorang anak yatim yang miskin, walau berasal dari nasab yang mulia. Apalagi
bila mereka harus ‘disamakan’ derajadnya dengan para mantan budak seperti Bilal
bin Rabah, Ammar bin Yasir dan lain-lainnya, jika mereka menerima dan memeluk
Islam.
Utbah dan Syaibah memanggil dan
menyuruh budaknya yang beragama Nashrani bernama Addas untuk memberikan
setandan anggur kepada Nabi SAW. Beliau menerimanya, dan membaca Basmalah (Bismillaahirrahmaanirrahiim)
sebelum memakannya. Mendengar ucapan itu, Addas berkata, "Kata-kata itu
tidak pernah diucapkan penduduk negeri ini."
Nabi SAW bersabda kepadanya,
“Darimanakah asalmu, dan apa pula agamamu?”
Addas menjawab, “Aku beragama
Nashrani dan berasal dari Negeri Ninawa (Nineveh)!!”
Nabi SAW berkata dengan nada tanya,
“Negerinya orang shalih bernama Yunus bin Matta??”
Addas tampak keheranan dan berkata,
“Apa yang tuan ketahui tentang Yunus bin Matta?”
Yunus bin Matta yang tak lain
adalah Nabi Yunus AS, memang cukup terkenal di negerinya, apalagi dengan kisah
beliau ditelan dan hidup di perut ikan di dalam lautan selama berhari-hari.
Karena itu walaupun orangnya sudah lama meninggal tetap saja kisahnya
melegenda.
Nabi bersabda, "Beliau adalah
saudaraku, beliau seorang Nabi, begitu juga aku."
Addas merengkuh kepala Nabi SAW, kemudian
mencium tangan dan kaki Beliau. Sebuah sikap dan pengakuan akan kebenaran
kenabian Rasullullah SAW, dan Addas menyatakan dirinya memeluk Islam.
Ketika Addas kembali kepada
tuannya, dan mereka melihat apa yang dilakukannya terhadap Nabi SAW, mereka
mencela sikapnya memeluk Islam, dan mengatakan kalau Nashrani masih lebih baik.
Dengan tegas Addas menjawab, "Wahai tuan, di dunia ini tidak ada
sesuatupun yang lebih baik daripada orang itu. Dia telah mengabariku sesuatu
yang tidak diketahui kecuali oleh seorang nabi."
Setelah cukup lama beristirahat,
dan keadaan luka-lukanya agak membaik, Nabi SAW meninggalkan kebun itu untuk
meneruskan perjalanan ke Makkah. Beliau amat sedih dan hatinya seperti
diiris-iris mendapat perlakuan yang begitu menghinakan dari penduduk Thaif.
Ketika tiba di Qarnuts Tsa’alib, atau juga disebut dengan Qarnul Manazil, Nabi
SAW menengadahkan wajah memandang awan yang selalu menaungi selama perjalanan
itu, dan ternyata Jibril berada di sana dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah
mendengar apa yang dikatakan kaummu dan apa yang dilakukannya terhadap engkau.
Allah telah mengutus seorang malaikat penjaga gunung, agar engkau memerintahkan
apapun yang engkau kehendaki!!”
Malaikat itu tampil dan berkata,
“Wahai Muhammad, semua itu telah terjadi, dan apakah yang engkau kehendaki?
Jika engkau inginkan untuk meratakan Akhsyabaini, tentu aku akan melakukannya…”
Akhsyabaini adalah dua gunung di
Makkah, yakni Abu Qubais dan Qa’aiqa’an yang berada di seberangnya. Maksudnya,
malaikat akan mengangkat dua gunung itu dan menimpakan kepada penduduk Kota
Thaif. Nabi SAW merasa tenang dan hatinya menjadi tentram dengan adanya
pertolongan ghaib itu, tetapi beliau menolak tawaran malaikat penjaga gunung
itu dengan bersabda, “Justru aku berharap kepada Allah agar mengeluarkan dari
mereka orang-orang yang hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatupun…”
Dalam riwayat lain disebutkan,
bahwa beliau menanggapi tawaran malaikat itu dengan berdoa, “Ya Allah, berilah
petunjuk/hidayah kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui…(Allaahummahdii
qoumi fainnahum laa ya’lamuun)!!”
Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah
meneruskan perjalanan, dan ketika tiba di Wadi Nakhlah, beliau memutuskan untuk
tinggal beberapa hari lamanya di sana.
Sebagian riwayat menyebutkan, sekelompok jin mendatangi tempat itu dan
mendengarkan beliau yang sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an, dan kemudian
mereka memeluk Islam. Mereka juga mengajak kaum jin di tempat tinggalnya untuk
ikut memeluk Islam. Atas kejadian ini, Allah menurunkan Surat Al Ahqaf ayat
29-31 dan (atau) Surat al Jin ayat 1-2, dan hal ini makin mengukuhkan semangat
Nabi SAW untuk tetap mendakwahkan Islam, walau mungkin mendapat perlawanan dan
perlakuan yang semena-mena seperti yang dilakukan oleh penduduk Kota Thaif.
Ternyata persoalan belum selesai
sampai di situ, kaum kafir Quraisy dengan pimpinan Abu Jahal yang telah
mengetahui keberangkatan Nabi SAW ke Thaif, bermaksud menolak kembalinya Rasulullah
SAW ke Kota Makkah, bahkan kalau perlu akan mengusir beliau. Dengan cemasnya Zaid
bin Haritsah bertanya, "Bagaimana caranya engkau memasuki Makkah, Ya
Rasulullah, padahal mereka telah (berniat) mengusir engkau?"
"Wahai Zaid," Kata Nabi
SAW dengan mantap, "Sesungguhnya Allah akan menciptakan kelonggaran dan
jalan keluar dari masalah yang kita hadapi ini. Sungguh Allah pasti akan
menolong agamaNya dan memenangkan NabiNya….!"
Beliau meneruskan perjalanan, dan
ketika mendekati Makkah, beliau memutuskan untuk tinggal di Hira. Dari sana Nabi SAW mengutus
seorang lelaki dari Bani Khuza’ah kepada beberapa tokoh Quraisy untuk
memberikan jaminan perlindungan kepada beliau. Setelah Akhnas bin Syariq dan
Suhail bin Amr tidak bersedia, Muth’im bin Ady yang mau memberikan jaminan
perlindungan kepada Nabi SAW dan Zaid, ia berkata kepada kaumnya, “Ambillah
senjata kalian dan bersiap siagalah di setiap sudut Masjidil Haram, karena aku
telah memberikan perlindungan kepada Muhammad!!”
Setelah itu Muth’im mengirimkan
beberapa orang utusan untuk menjemput Nabi SAW dan mengiring beliau memasuki
Makkah. Muth’im berseru keras dari tunggangannya, “Wahai semua orang Quraisy,
sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Muhammad, maka tidak
boleh seorang dari kalian bertindak semaunya sendiri kepada dirinya!!”
Nabi SAW memasuki Masjidil Haram,
dan beliau berhenti di sisi Hajar Aswad kemudian menciumnya. Setelah shalat dua
rakaat beliau pulang ke rumah. Kaum kafir Quraisy hanya bisa memandang tidak
berbuat apa-apa. Abu Jahal berkata kepada Muth’im, “Apakah engkau hanya sekedar
memberi jaminan atau juga menjadi pengikutnya (yakni memeluk Islam)?
“Tidak, aku hanya memberi jaminan
perlindungan!!” Kata Muth’im
Abu Jahal berkata, “Kalau begitu
kami akan melindungi siapapun yang engkau lindungi!!”
Rasulullah SAW selalu mengingat
jasa baik Muth’im ini, sehingga dalam masalah tawanan Perang Badar beliau
sempat bersabda, “Andaikata Muth’im masih hidup dan dia meminta agar aku
mengasihi para tawanan ini, tentu aku akan menyerahkan urusan ini kepadanya!!”