Selasa, 20 Mei 2014

Ketika Kelaparan dalam Perang Tabuk

Pada tahun 9 Hijriah Nabi SAW menggerakkan pasukan ke Tabuk untuk menghadapi pasukan Romawi yang banyak melakukan gangguan dan serangan ke wilayah-wilayah kaum muslimin. Perang ini disebut juga dengan jaisyul ‘usyra, yakni perang di masa yang sulit, karena saat itu Madinah dalam masa paceklik, para penduduknya dalam masa yang sulit. Cuaca saat itu juga sedang panas-panasnya sehingga perjalanan ke Tabuk juga luar biasa beratnya.
Walau pada akhirnya peperangan ini tidak terjadi karena pasukan Romawi memilih untuk pergi (melarikan diri) sebelum Nabi SAW sampai di Tabuk, tetapi kaum muslimin yang mengikuti pasukan ini benar-benar mengalami perjuangan hidup yang sangat hebat dan berat, berjuang dalam menetapi keimanan dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Pernah ketika sedang tinggal di Tabuk, hampir semua sahabat mengalami kelaparan, termasuk Nabi SAW. Salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya tuan mengijinkan maka kami akan menyembelih hewan tunggangan kami, sehingga kita bisa makan dan dapat menambah kekuatan kita!!”
“Lakukanlah!!” Kata Nabi SAW memberikan ijin.
Mendengar percakapan itu, Umar bin Khaththab berkata, “Wahai Rasulullah, jika engkau mengijinkan (dan akan banyak sahabat lain yang mengikuti), maka hanya tinggal sedikitlah kendaraan kita!! Tetapi engkau perintahkan saja mereka yang masih memiliki sisa-sisa makanan untuk mengumpulkannya, lantas engkau berdoa kepada Allah agar sisa-sisa makanan itu membawa keberkahan bagi kita semua!!”
Memang di saat itu tunggangan yang dipergunakan hanya sedikit karena keadaan yang sulit tersebut. Kebanyakan satu ekor unta atau kuda dipergunakan untuk tunggangan dua orang, bahkan tiga orang secara bergantian, dan banyak juga yang berjalan kaki. Abu Dzar al Ghifari mengendarai seekor keledai yang tua dan lemah sehingga ia tertinggal jauh dalam perjalanan itu. Akhirnya ia melepas bebas keledainya itu dan memanggul bawaannya di punggungnya, dan berjalan kaki menyusul Nabi SAW dan pasukan muslimin lainnya yang berada jauh di depan.
Apa yang diusulkan oleh Umar tersebut adalah ‘konsep’ dari kaum Asy’ariyyin, yakni kaumnya sahabat Abdullah bin Qais, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Musa al Asy’ary. Nabi SAW menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, dan memberi gambaran tentang mereka, "Kaum Asy'ariyyin ini, bila mereka ditimpa kekurangan makanan dalam pertempuran atau dilanda paceklik, mereka mengumpulkan semua makanan yang tersisa pada selembar kain, lalu mereka membagi rata. Mereka ini termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka…!!"
“Ya, benar!!” Kata Nabi SAW, kemudian beliau menghamparkan kain (dalam riwayat lain, sorban beliau) dan memerintahkan seorang sahabat untuk menyeru agar mereka yang mempunyai sisa makanan untuk meletakkan pada kain tersebut.
Para sahabat hanya meletakkan segenggam atau beberapa genggam saja, karena memang hanya itu sisa makanan yang mereka miliki. Ada yang membawa gandum, korma, roti atau jenis makanan lainnya, dan setelah semua terkumpul walau tidak terlalu banyak, Nabi SAW berdoa kepada Allah agar diberikan keberkahan pada makanan itu. Setelah itu beliau bersabda kepada para sahabat, “Ambillah kamu sekalian, dan penuhilah bejana (tempat) makanan kalian masing-masing!!”
Satu persatu para sahabat mengambil makanan dari kain yang terhampar itu dan memenuhi tempat makanannya. Tidak seorangpun kecuali telah mengambil dan makan dengan kenyangnya, tetapi makanan di hamparan kain itu seperti tidak berkurang jumlahnya, padahal jumlah pasukan yang dibawa Rasulullah SAW ke Tabuk sebanyak 30.000 orang. Setelah semua itu, Nabi SAW bersabda, “Asyhadu an-laa ilaaha illallaah wa annii rasuulullaah (aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah). Tidak ada seorangpun hamba (manusia) yang menghadap kepada Allah tanpa ragu-ragu dengan dua kalimat ini, yang akan terhalang dari surga…”
Maksudnya, setiap orang yang menghadap kepada Allah dengan membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ada keraguan sedikitpun (yakni, sangat yakin), maka dipastikan akan masuk surga.

Note:rsI364,sn     

Ketika Nabi SAW berdakwah ke Thaif

Tahun ke sepuluh dari kenabian, ketika Abu Thalib dan Khadijah wafat, tekanan dan siksaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy makin meningkat, baik kepada kaum muslimin, terlebih kepada Nabi SAW sendiri. Khadijah bisa dikatakan sebagai ‘sandaran psikologis’ ketika beban penentangan begitu berat beliau rasakan. Sedangkan Abu Thalib, walau tidak bersedia memeluk Islam, tetapi atas nama kekerabatan mampu meredam ‘kekejaman’ kaum kafir Quraisy dengan ketokohannya dalam masyarakat Quraisy.
Walau bagaimanapun juga Allah SWT yang menjadi sandaran utama dan tempat tawakal Nabi SAW, tetapi kehilangan dua orang yang begitu dekat membuat beliau bersedih, terlebih bila melihat perlakuan kejam yang dirasakan umat Islam yang lemah. Karena itu beliau berfikir keras untuk mencari jalan keluar, dan akhirnya beliau berinisiatif untuk menyeru penduduk Thaif untuk memeluk Islam. Bani Tsaqif yang mendiami Kota Thaif termasuk suku/kabilah yang terpandang dan mempunyai kekuatan yang cukup disegani di jazirah Arabia. Kalau upaya itu berhasil, setidaknya bisa mengurangi dan menghambat tekanan kaum Quraisy.
Dengan ditemani Zaid bin Haritsah, Nabi SAW menempuh jarak sekitar 90 km (60 mil) di padang pasir dengan berjalan kaki. Setiap bertemu dengan suatu kabilah dalam perjalanan itu, beliau menyeru mereka untuk memeluk Islam, tetapi tidak memperoleh sambutan yang berarti. Setibanya di Thaif, beliau menemui tiga orang putra Amr bin Umair as Tsaqafi yang merupakan pimpinan masyarakat mereka, yakni Abd Yalail, Mas’ud dan Hubaib bin Amr. Beliau duduk di hadapan mereka dan menceritakan tentang risalah Keislaman yang beliau bawa, serta mengajak mereka kepada Allah, kepada Islam dan untuk menjadi pembela agama Allah, tetapi mereka menanggapinya dengan sinis dan menyakitkan.
Salah seorang dari mereka berkata, “Jika memang Allah telah mengutusmu sebagai Rasul, berarti kain Ka’bah telah terkoyak!!”
Salah satunya lagi berkata, “Apakah Allah tidak mendapatkan orang lainnya selain dirimu (untuk diangkat sebagai rasul)??”
Yang terakhir berkata, “Demi Allah, aku tidak sudi berbicara lagi denganmu. Jika engkau benar-benar seorang rasul, maka akan berbahaya (menjadi ancaman) bagiku jika aku menyanggah perkataanmu. Tetapi jika engkau membuat kedustaan terhadap Allah (dengan mengaku diangkat menjadi rasul), maka tidak layak bagiku untuk berbicara denganmu ….!!”
Dengan sikap yang seperti itu, beliau tidak lagi mencari peluang untuk terus berdakwah kepada mereka, akan percuma saja. Tetapi sambil bangkit untuk pergi, beliau berkata, “Jika kalian memang telah bersikap seperti ini (ya mau apalagi), tetapi tolong sembunyikan aku (dari kaum Quraisy)…!!”
Untuk permintaan yang terakhir itu mereka memenuhinya, tidak mengabarkannya kepada kaum Quraisy di Makkah. Selama sepuluh hari beliau tinggal di Thaif, dan tidak henti-hentinya beliau menyeru para pemimpin kabilah yang beliau temui, tetapi tenyata tidak ada seorangpun yang menyambut ajakan beliau. Bahkan akhirnya mereka merasa terganggu dan mengusir beliau dari Thaif. Mereka berkata, “Usir orang ini dari negeri kita, dan kerahkan semua orang untuk memperdayainya (menyakitinya)…!!”
Ketika Nabi SAW meninggalkan Thaif, mereka mengumpulkan beberapa orang jahat dan para budak mengerumuni beliau. Mereka dibentuk dalam dua barisan di kanan kiri jalan, sambil mencaci maki serta melemparkan batu kepada mereka berdua. Zaid bin Haritsah mati-matian melindungi Nabi SAW dari serangan lemparan batu-batu tersebut. Tak terkira luka-luka di kepala dan tubuh mereka berdua, karena kaum musyrikin Thaif itu terus melakukan serangan batu sepanjang hampir 5 km (3 mil). Mereka baru berhenti menyerang dan kembali ke Thaif, setelah Nabi SAW dan Zaid masuk ke dalam kebun milik Utbah dan Syaibah bin Rabiah, seorang tokoh Quraisy. Luka mengucur hampir dari seluruh bagian tubuh Zaid bin Haritsah karena ia pasang badan melindungi Nabi SAW, tetapi beliau sendiri juga terluka, bahkan salah satu urat di atas tumit beliau putus sehingga darah membasahi terompahnya. Zaid sangat mengkhawatirkan luka pada kaki Nabi SAW daripada luka-lukanya sendir yang jauh lebih parah.
Nabi SAW duduk berlindung di bawah rimbunan pohon anggur, kemudian berdoa, “Ya Allah, hanya kepadaMu aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan siasatku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Pengasih di antara para pengasih, Engkau adalah Rabb kaum yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau akan menyerahkan diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku, atau kepada musuh yang akan menguasai urusanku? Aku tidak perduli (dengan semua itu) asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sungguh teramat luas afiat yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung dengan cahaya WajahMu yang menyinari segala kegelapan, yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menurunkan kemurkaanMu kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau ridha, tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Engkau ….!!!”
Sang pemilik kebun, Utbah dan Syaibah bin Rabiah merasa trenyuh dan terketuk hatinya melihat apa yang dialami Nabi SAW. Mereka memang tidak suka dan menolak apa yang didakwahkan beliau, tetapi sebenarnya mereka, dan juga sebagian besar tokoh Quraisy lainnya, sangat menghargai dan memuliakan Nabi SAW sebagai suatu pribadi yang luhur dan dapat dipercaya. Jauh di lubuk hati mereka itu sebenarnya bisa menerima kebenaran dari apa yang beliau dakwahkan, hanya saja rasa gengsi dan ego (harga diri) yang menghalanginya, mereka tidak mau berada ‘dibawah’ Nabi SAW yang hanya seorang anak yatim yang miskin, walau berasal dari nasab yang mulia. Apalagi bila mereka harus ‘disamakan’ derajadnya dengan para mantan budak seperti Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir dan lain-lainnya, jika mereka menerima dan memeluk Islam.
Utbah dan Syaibah memanggil dan menyuruh budaknya yang beragama Nashrani bernama Addas untuk memberikan setandan anggur kepada Nabi SAW. Beliau menerimanya, dan membaca Basmalah (Bismillaahirrahmaanirrahiim) sebelum memakannya. Mendengar ucapan itu, Addas berkata, "Kata-kata itu tidak pernah diucapkan penduduk negeri ini."
Nabi SAW bersabda kepadanya, “Darimanakah asalmu, dan apa pula agamamu?”
Addas menjawab, “Aku beragama Nashrani dan berasal dari Negeri Ninawa (Nineveh)!!”
Nabi SAW berkata dengan nada tanya, “Negerinya orang shalih bernama Yunus bin Matta??”
Addas tampak keheranan dan berkata, “Apa yang tuan ketahui tentang Yunus bin Matta?”
Yunus bin Matta yang tak lain adalah Nabi Yunus AS, memang cukup terkenal di negerinya, apalagi dengan kisah beliau ditelan dan hidup di perut ikan di dalam lautan selama berhari-hari. Karena itu walaupun orangnya sudah lama meninggal tetap saja kisahnya melegenda.
Nabi bersabda, "Beliau adalah saudaraku, beliau seorang Nabi, begitu juga aku."
Addas merengkuh kepala Nabi SAW, kemudian mencium tangan dan kaki Beliau. Sebuah sikap dan pengakuan akan kebenaran kenabian Rasullullah SAW, dan Addas menyatakan dirinya memeluk Islam.
Ketika Addas kembali kepada tuannya, dan mereka melihat apa yang dilakukannya terhadap Nabi SAW, mereka mencela sikapnya memeluk Islam, dan mengatakan kalau Nashrani masih lebih baik. Dengan tegas Addas menjawab, "Wahai tuan, di dunia ini tidak ada sesuatupun yang lebih baik daripada orang itu. Dia telah mengabariku sesuatu yang tidak diketahui kecuali oleh seorang nabi."
Setelah cukup lama beristirahat, dan keadaan luka-lukanya agak membaik, Nabi SAW meninggalkan kebun itu untuk meneruskan perjalanan ke Makkah. Beliau amat sedih dan hatinya seperti diiris-iris mendapat perlakuan yang begitu menghinakan dari penduduk Thaif. Ketika tiba di Qarnuts Tsa’alib, atau juga disebut dengan Qarnul Manazil, Nabi SAW menengadahkan wajah memandang awan yang selalu menaungi selama perjalanan itu, dan ternyata Jibril berada di sana dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar apa yang dikatakan kaummu dan apa yang dilakukannya terhadap engkau. Allah telah mengutus seorang malaikat penjaga gunung, agar engkau memerintahkan apapun yang engkau kehendaki!!”
Malaikat itu tampil dan berkata, “Wahai Muhammad, semua itu telah terjadi, dan apakah yang engkau kehendaki? Jika engkau inginkan untuk meratakan Akhsyabaini, tentu aku akan melakukannya…”
Akhsyabaini adalah dua gunung di Makkah, yakni Abu Qubais dan Qa’aiqa’an yang berada di seberangnya. Maksudnya, malaikat akan mengangkat dua gunung itu dan menimpakan kepada penduduk Kota Thaif. Nabi SAW merasa tenang dan hatinya menjadi tentram dengan adanya pertolongan ghaib itu, tetapi beliau menolak tawaran malaikat penjaga gunung itu dengan bersabda, “Justru aku berharap kepada Allah agar mengeluarkan dari mereka orang-orang yang hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun…”
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliau menanggapi tawaran malaikat itu dengan berdoa, “Ya Allah, berilah petunjuk/hidayah kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui…(Allaahummahdii qoumi fainnahum laa ya’lamuun)!!”
Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah meneruskan perjalanan, dan ketika tiba di Wadi Nakhlah, beliau memutuskan untuk tinggal beberapa hari lamanya di sana. Sebagian riwayat menyebutkan, sekelompok jin mendatangi tempat itu dan mendengarkan beliau yang sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an, dan kemudian mereka memeluk Islam. Mereka juga mengajak kaum jin di tempat tinggalnya untuk ikut memeluk Islam. Atas kejadian ini, Allah menurunkan Surat Al Ahqaf ayat 29-31 dan (atau) Surat al Jin ayat 1-2, dan hal ini makin mengukuhkan semangat Nabi SAW untuk tetap mendakwahkan Islam, walau mungkin mendapat perlawanan dan perlakuan yang semena-mena seperti yang dilakukan oleh penduduk Kota Thaif.
Ternyata persoalan belum selesai sampai di situ, kaum kafir Quraisy dengan pimpinan Abu Jahal yang telah mengetahui keberangkatan Nabi SAW ke Thaif, bermaksud menolak kembalinya Rasulullah SAW ke Kota Makkah, bahkan kalau perlu akan mengusir beliau. Dengan cemasnya Zaid bin Haritsah bertanya, "Bagaimana caranya engkau memasuki Makkah, Ya Rasulullah, padahal mereka telah (berniat) mengusir engkau?"
"Wahai Zaid," Kata Nabi SAW dengan mantap, "Sesungguhnya Allah akan menciptakan kelonggaran dan jalan keluar dari masalah yang kita hadapi ini. Sungguh Allah pasti akan menolong agamaNya dan memenangkan NabiNya….!"
Beliau meneruskan perjalanan, dan ketika mendekati Makkah, beliau memutuskan untuk tinggal di Hira. Dari sana Nabi SAW mengutus seorang lelaki dari Bani Khuza’ah kepada beberapa tokoh Quraisy untuk memberikan jaminan perlindungan kepada beliau. Setelah Akhnas bin Syariq dan Suhail bin Amr tidak bersedia, Muth’im bin Ady yang mau memberikan jaminan perlindungan kepada Nabi SAW dan Zaid, ia berkata kepada kaumnya, “Ambillah senjata kalian dan bersiap siagalah di setiap sudut Masjidil Haram, karena aku telah memberikan perlindungan kepada Muhammad!!”
Setelah itu Muth’im mengirimkan beberapa orang utusan untuk menjemput Nabi SAW dan mengiring beliau memasuki Makkah. Muth’im berseru keras dari tunggangannya, “Wahai semua orang Quraisy, sesungguhnya aku telah memberikan perlindungan kepada Muhammad, maka tidak boleh seorang dari kalian bertindak semaunya sendiri kepada dirinya!!”
Nabi SAW memasuki Masjidil Haram, dan beliau berhenti di sisi Hajar Aswad kemudian menciumnya. Setelah shalat dua rakaat beliau pulang ke rumah. Kaum kafir Quraisy hanya bisa memandang tidak berbuat apa-apa. Abu Jahal berkata kepada Muth’im, “Apakah engkau hanya sekedar memberi jaminan atau juga menjadi pengikutnya (yakni memeluk Islam)?
“Tidak, aku hanya memberi jaminan perlindungan!!” Kata Muth’im
Abu Jahal berkata, “Kalau begitu kami akan melindungi siapapun yang engkau lindungi!!”
Rasulullah SAW selalu mengingat jasa baik Muth’im ini, sehingga dalam masalah tawanan Perang Badar beliau sempat bersabda, “Andaikata Muth’im masih hidup dan dia meminta agar aku mengasihi para tawanan ini, tentu aku akan menyerahkan urusan ini kepadanya!!”