Rabu, 02 September 2015

Ketika Nabi SAW Menerima Wahyu Pertama

Berada pada lingkungan yang tidak sesuai dengan karakter jiwanya sungguhlah tidak mudah, dan itulah yang dirasakan oleh Rasulullah SAW. Untungnya, ketika dalam pengasuhan Abu Thalib yang merupakan tokoh Quraisy penyembah berhala, beliau ‘dibebaskan’ dengan sikap dan pemikiran beliau sendiri, tidak dipaksa dan ‘dididik’ untuk mengikuti keyakinan pamannya tersebut.
Ketika menikah, Nabi SAW mendapat dukungan penuh dari istrinya, Khadijah binti Khuwailid, yang sejak lama memang telah terpikat dengan keluhuran dan ketinggian akhlak beliau. Ia termasuk orang yang ‘berpendidikan’ dan terjaga, ia tidak hanya mengenal lingkungan Quraisy dan seluk beluknya, tetapi ia juga mengenal agama wahyu sebelumnya, yakni Nashrani. Hal ini disebabkan anak pamannya (yakni sepupunya), Waraqah bin Naufal adalah seorang pemeluk Nashrani yang taat dan sangat mengenal kitab Injil, dan ia cukup akrab dengannya.. Karena itulah Nabi SAW sangat mencintai dan menyayangi Khadijah, tidak hanya sebagai istri, tetapi juga sebagai sahabat yang bisa menjadi sandaran ketika beliau mengalami ‘keresahan’ dalam pencarian hakekat kebenaran.
Dari tahun ke tahun, seolah-olah Nabi SAW  asyik menjelajah waktu, tenggelam dalam ‘pencarian’ dan perenungan untuk mematangkan pemikiran dan kejiwaan beliau. Puncaknya adalah tahun-tahun menjelang usia 40 tahun, beliau sangat senang mengasingkan diri (berkhalwat) ke Gua Hira di Jabal Nur, sekitar dua mil (3 km) dari Kota Makkah. Di gua yang tidak terlalu besar tersebut, sekitar satu hasta kali empat hasta, beliau merenungkan berbagai macam hal, termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik kenyataan. Beliau membawa bekal secukupnya, yang biasanya cukup untuk satu bulan di dalam gua Hira. Setelah bekalnya habis, beliau kembali ke rumah di Makkah. Setelah beberapa hari di rumah, beliau kembali lagi ke Gua Hira meneruskan "uzlah" dan perenungan beliau.
Sekitar tiga tahun lamanya Nabi SAW berkhalwat di Gua Hira, dan setelah genap berusia 40 tahun (dalam hitungan qomariah/hijriah), beliau memperoleh impian yang mirip dengan suasana fajar menyingsing di waktu subuh. Mimpi yang bisa dikatakan sebagai permulaan nubuwwah itu terjadi pada Bulan Rabi’ul Awwal. Dan impian sama seperti itu berulang-ulang datang selama enam bulan, hingga pada suatu malam ketika sedang berada di gua Hira, saat itu hari senin tanggal 21 Ramadhan (sebagian pendapat menyatakan  tanggal 27, 17, 18 atau 7 Ramadhan), Nabi SAW didatangi sosok, yang kemudian dikenali sebagai Malaikat Jibril, yang berkata kepada beliau, "Bacalah"
Beliau gemetar melihat kehadiran sosok Malaikat Jibril yang tidak/belum dikenalinya ini, dan berkata, "Saya tidak bisa membaca!!"
Memang Nabi SAW tidak mengerti baca tulis, karena itu beliau sering disebut dengan Nabiyyil Ummi (Nabi yang buta huruf). Malaikat Jibril memegang dan mendekap Nabi SAW hingga beliau merasa sesak. Kemudian melepaskannya lagi dan berkata, "Bacalah!!"
Nabi SAW berkata lagi, "Saya tidak bisa membaca…!!"
Malaikat Jibril mendekap beliau hingga beliau merasa sesak, kemudian melepaskannya. Hal itu masih berulang sekali, setelah itu Malaikat Jibril berkata, "Iqra' bismi rabbikalladzii kholaq, kholaqol insaana min alaq, Iqra' wa rabbukal akram, alladzii 'allama bil qolam, 'allamal insaana maa lam ya'lam." (QS Al Alaq 1-5).
Artinya lebih kurang sebagai berikut : Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang telah menciptakan; Dia menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah; Yang mengajar dengan perantaraan kalam (pena); Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Itulah wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi SAW lewat Malaikat Jibril. Beliau mengulang kalimat-kalimat wahyu tersebut dengan lancar, walaupun dengan hati yang gemetar, kemudian Malaikat Jibril berlalu (menghilang). Beliau segera turun dari Gua Hira dan pulang ke Makkah. Badan beliau menggigil seperti orang yang terkena penyakit demam. Setelah bertemu istri beliau, Khadijah, beliau berkata, "Selimutilah aku, Selimutilah aku!!"
Khadijah menyelimuti beliau, dan setelah mulai tenang, beliau berkata, "Apa yang terjadi denganku?"
Kemudian beliau menceritakan semua peristiwa yang beliau alami di dalam Gua Hira malam itu, dan menutupnya dengan berkata, "Sesungguhnya aku mengkhawatirkan keadaan diriku sendiri..!!"
Khadijah dengan bijak berkata, "Tidak, demi Allah, Allah tidak akan menghinakan dirimu selamanya, karena engkau suka menyambung tali persaudaraan, ikut membawakan dan meringankan beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu dan menolong orang yang menegakkan kebenaran…!!"
Beberapa tahun sebelum pernikahannya dengan Nabi Muhammad SAW (saat itu belum menjadi Nabi SAW), Khadijah pernah bermimpi, matahari turun dari langit ke atas Kota Makkah, kemudian matahari itu meluncur masuk ke rumahnya, dan menerangi seluruh penjuru rumahnya, dan juga lingkungan sekelilingnya. Mimpi yang begitu berkesan tersebut diceritakan kepada saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal. Dengan pemahamannya atas kitab Injil dan kitab lainnya, ia berkata, "Sungguh akan turun (datang) seorang nabi dari Kota Makkah, dan engkau (Khadijah) akan menjadi istrinya, dan nabi tersebut akan menyampaikan dakwah dari dalam rumahmu…!!"
Dengan cerita yang disampaikan Nabi SAW itu, segera saja Khadijah teringat akan impiannya belasan tahun sebelumnya. Ia mengajak Nabi SAW untuk menemui Waraqah bin Naufal, yang saat itu usianya telah sangat lanjut dan matanya telah buta. Setelah bertemu, Khadijah berkata, "Wahai anak pamanku, dengarkanlah cerita dari anak saudaramu ini (yakni Nabi Muhammad SAW)!!"
Waraqah berkata kepada Nabi SAW, "Apa yang telah engkau lihat, wahai anak saudaraku??"
Nabi SAW menceritakan secara detail pengalaman beliau ketika didatangi sosok (Malaikat Jibril) di Gua Hira. Mendengar cerita tersebut, Waraqah berkata dengan rona wajah gembira, "Itu adalah Namus (yakni, Malaikat Jibril) yang diturunkan Allah kepada Musa!! Andai saja aku masih muda ketika masa itu tiba…andai saja aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu..!!"
Matanya yang telah memutih dan buta tersebut tampak berbinar-binar penuh harapan. Nabi SAW berkata, "Benarkah mereka akan mengusirku??"
"Benar, tak seorangpun yang membawa seperti apa yang engkau bawa, kecuali dia akan dimusuhi…" Kata Waraqah, matanya yang buta tampak menerawang jauh, kemudian berkata lagi, "Andai saja aku masih hidup pada masamu nanti (diangkat menjadi Rasul), tentu aku akan membantumu dengan sungguh-sungguh…!!"
Nabi SAW menjadi lebih tenang dengan penjelasan Waraqah bin Naufal.
Beberapa waktu bulan berselang, sebagian menyebutkan beberapa hari, atau lainnya beberapa bulan (ada juga pendapat yang menyebutkan hingga 3 tahun), wahyu tersebut seakan terputus dan beliau menjadi bimbang. Pada dasarnya, Nabi SAW sangat tidak suka dengan penyair dan syair-syairnya. Ketika wahyu pertama tersebut terputus seakan tidak ada kelanjutannya, beliau berfikir jangan-jangan itu sekedar syair semata, sebagaimana syair-syair yang disenandungkan oleh kaum Quraisy, dan hal itu menyebabkan beliau sangat gelisah.
Dalam puncak kegelisahan tersebut, beliau ingin mati saja dengan menerjunkan diri dari puncak gunung yang tinggi. Beliau mendaki sebuah gunung, tetapi belum jauh mendaki, tiba-tiba terdengar suara dari langit, "Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, dan aku adalah Jibril…!!"
Beliau mendongakkan kepala ke langit, dan di sana beliau melihat Jibril dalam rupa seorang lelaki dengan wajah sangat berseri, kedua kakinya menapak di ufuk langit. Sekali lagi Jibril berkata, "Wahai Muhammad, engkau adalah Rasul Allah, dan aku adalah Jibril…!!"
Nabi SAW hanya terdiam dalam kebingungan, kaki beliau seakan terpaku ke bumi, tidak bisa bergerak maju ataupun mundur. Setiap kali beliau berpaling ke arah langit yang lain, sosok Jibril tersebut telah ada di sana dengan tersenyum kepada beliau. Peristiwa tersebut berlangsung beberapa waktu lamanya, setelah Malaikat Jibril telah benar-benar lenyap (pergi) dari ufuk langit, barulah beliau bisa menggerakkan kaki dan beliau segera pulang  ke Makkah.
Sementara itu di Makkah, Khadijah merasa kehilangan Nabi SAW. Ia telah mengutus beberapa orang untuk mencari keberadaan beliau di Makkah dan sekitarnya tetapi mereka tidak bisa menemukan beliau. Setelah para pencari tersebut pulang dengan  tangan hampa dan kembali ke rumahnya masing-masing, barulah Nabi SAW sampai di rumah, dan beliau langsung duduk di paha Khadijah dan bersandar kepada istrinya tercinta tersebut. Khadijah berkata, "Darimana saja engkau, wahai Abul Qasim? Sungguh aku telah mengirim beberapa orang untuk mencarimu ke Makkah dan sekitarnya, tetapi mereka pulang dengan tangan hampa…!!"
Nabi SAW menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan lengkap, setelah itu Nabi SAW tertidur karena cape. Khadijah segera menemui Waraqah dan menceritakan pengalaman Nabi SAW tersebut, dengan gembira Waraqah berkata, "Mahasuci, Mahasuci, demi diri Waraqah yang ada di Tangan-Nya, Namus yang besar, yang pernah datang  kepada Musa kini benar-benar telah datang kepadanya (lagi), dia (Muhammad SAW) adalah benar-benar nabi umat ini…!! Katakan kepadanya agar ia berteguh hati..!!"
Khadijah segera kembali ke rumah. Setelah Nabi SAW bangun dari tidurnya, Khadijah berkata, "Bergembiralah anak pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi diri Khadijah yang berada di Tangan-Nya, aku benar-benar berharap engkau akan menjadi nabi dari umat ini…!!"
Beberapa waktu kemudian, ketika Nabi SAW bertemu langsung dengan Waraqah bin Naufal, beliau menceritakan pengalaman beliau tersebut, dan sekali lagi Waraqah berkata dengan gembira, "Demi diri Waraqah yang ada di Tangan-Nya, engkau adalah benar-benar nabi umat ini. Namus yang besar  telah datang kepadamu, sebagaimana ia pernah datang kepada Musa…!!"
Setelah beberapa waktu berlalu ‘kegoncangan jiwa’ beliau berangsur sirna, dan tumbuhlah keyakinan bahwa Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar telah menetapkan beliau sebagai Nabi umat ini, Nabi akhir zaman. Tentu semua itu tidak lepas dari dukungan moral dan pemahaman yang diberikan oleh istrinya, Khadijah dan juga Waraqah bin Naufal. Sayangnya tidak lama setelah itu, Waraqah meninggal dunia.
Beberapa hari berlalu, ketika Nabi SAW tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara dari langit, dan tampak malaikat Jibril yang mendatangi beliau di Gua Hira, sedang duduk di suatu kursi yang menggantung antara bumi dan langit. Nabi SAW mencoba mendekatinya tetapi tiba-tiba beliau jatuh terjerembab, dan malaikat Jibril hilang dari pandangan. Beliau segera pulang dan setibanya di rumah beliau berkata kepada Khadijah, “Selimutilah aku, selimutiah aku….!!”
Setelah diselimuti oleh istrinya Nabi SAW mulai tenang. Masih ada sedikit gemetar, tetapi keadaannya tidak seperti saat pertama kali beliau bertemu malaikat Jibril di Gua Hira. Dan tak lama berselang Allah menurunkan wahyu, QS Al Muddatstsir ayat 1 s.d. 5, : Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah.
Dengan turunnya wahyu yang kedua ini, makin mantaplah beliau akan ‘identitas’ kenabian dan tugas risalah yang beliau emban dari Allah SWT untuk umat manusia. Wahyu pertama al Iqra (QS al Alaq 1 – 5) bisa dikatakan sebagai pengenalan (ma’rifat) ‘identitas’ ketuhanan, yakni Allah SWT sebagai pemberi Risalah. Dan wahyu kedua QS al Muddatstsir 1 – 5, bisa dikatakan ‘wahyu pertama’ tentang kewajiban Nabi SAW menyampaikan Risalah kepada umat manusia. Wallahu A’lam.

Note : sn89muq79

Nabi SAW di antara Tradisi Jahiliah

Sejak masih kecil hidup di lingkungan kaum Quraisy yang mayoritas menyembah berhala, tidak pernah sekalipun Nabi SAW ‘terbawa arus’ mengikuti pola hidup dan kepercayaan mereka. Walau para tokoh jahiliah tersebut masih kerabat dekat beliau, seperti Abu Jahal, Abu Lahab, bahkan Abu Thalib yang mengasuh beliau, tetapi sama sekali beliau tidak ‘terkontaminasi’ dengan pekerti jahiliah mereka yang jelek-jelek. Tentu saja semua itu tidak terlepas dari jaminan dan penjagaan Allah, yang menyebabkan pengaruh buruk mereka sama sekali tidak bisa menyentuh beliau.
Walaupun tidak bisa membaca dan menulis (ummi), tetapi Nabi SAW layaknya seorang pengamat yang brillian atas apa yang tengah terjadi di sekitar beliau. Dengan kecerdasan dan fitrah suci yang diberikan Allah, beliau bisa memilah dan memilih apa yang seharusnya (yang benar) dan tidak seharusnya (yang salah). Beliau hanya bergaul dengan mereka, sejauh ada nilai-nilai kebaikan yang bisa beliau peroleh, kalau tidak, beliau lebih suka menyendiri.   
Tetapi bagaimanapun juga Nabi SAW masih manusia biasa, yang secara perkembangan fisik dan mental, khususnya di masa-masa remaja, ada juga kecenderungan jiwa yang menggelitik untuk sekedar menikmati dan mencicipi kesenangan duniawiah. Tetapi kemudian Allah memberi pertolongan dan perlindungan sehingga beliau ‘gagal’ untuk mewujudkan kecenderungannya itu. Beliau pernah bersabda, “Tidak pernah terlintas dalam benakku suatu keinginan untuk mengikuti kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah kecuali hanya dua kali. Tetapi kemudian Allah menjadi penghalang antara diriku dan keinginan itu, dan setelah itu aku tidak lagi punya keinginan (kesenangan duniawiah) sedikitpun, sehingga Allah memuliakan aku dengan risalah-Nya….!!”
Kemudian Nabi SAW menceritakan, bahwa ketika remaja beliau bekerja menggembalakan kambing. Berbeda dengan di Indonesia, di Arab dan padang pasir pada umumnya, mereka menggembalakan kambing (dan ternak lainnya) pada malam hari, dan biasanya jauh di luar kota. Suatu malam beliau mendengar adanya keramaian di Makkah, maka beliau berkata pada seorang pemuda lain yang juga menggembala, “Tolong awasilah kambing-kambing gembalaanku, karena aku hendak masuk Makkah dan hendak mengobrol di sana sebagaimana dilakukan pemuda-pemuda yang lain…!!”
“Baiklah,” Kata penggembala itu, “Aku akan melakukannya!!”
Beliau masuk ke Makkah, di suatu rumah yang sedang mengadakan keramaian, yakni terdengar suara rebana ditabuh, beliau berhenti dan bertanya kepada seseorang, “Ada apa ini?”
Orang itu berkata, “Perhelatan pernikahan Fulan dan Fulanah.”
Maka beliau memutuskan untuk melihatnya. Seperti kebiasaan jahiliah, selain tabuhan rebana, ada tarian dan juga kebiasaan buruk lainnya termasuk minuman khamr. Tetapi begitu beliau duduk, tiba-tiba telinganya seperti tersumbat dan langsung tertidur. Beliau terbangun ketika panas telah menyengat dan di sekitar rumah itu telah sepi. Beliau segera kembali ke temannya penggembala kambing, mengabarkan apa yang terjadi.
Pada malam lainnya, ketika beliau mendengar ada keramaian di Makkah, beliau ingin melihatnya, dan menitipkan kambing gembalaannya pada temannya. Tetapi seperti sebelumnya, begitu duduk beliau langsung tertidur, tidak mendengar dan melihat apapun, hingga panas matahari membangunkan beliau dan keadaan telah sepi.
Setelah dua kali pengalaman itu, beliau tidak pernah lagi mempunyai keinginan untuk melihat atau terlibat pada aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah.

Note:sn86